Tiga Hari di Utara

Malam itu saya lanjutkan kembali perjalanan menuju Semarang. Naik kereta kelas ekonomi rasa premium.

Jadi dalam sehari sudah tiga tempat yang saya kunjungi sekaligus. Berangkat pukul 20.35 WIB dari Stasiun Tegal. Sedangkan teman saya start dari Stasiun Pekalongan. Sekitar 2 jam untuk sampai dari Tegal ke Semarang.

Pukul 22.45 WIB saya sampai di Stasiun Semarangponcol.

Belum dapat penginapan. Bingung ingin bermalam dimana. Akhirnya buka Traveloka, disekitar stasiun ada penginapan sementara.

Sleep & Sleep Capsule Semarang. Satu gedung dengan UNAKI (Universitas AKI). Nggak tahu AKI nya singkatan dari apa. Pokoknya ini universitas kristen. Biasanya untuk tempat inap sementara penumpang yang akan naik kereta.

Yang saya bayangkan tempat tidurnya seperti obat capsule, ternyata bukan. Bentuknya seperti kontainer, hanya perlu diberi sekat, tambahkan kasur, bantal, lampu dan tirai penutup. Permalam hanya dikenakan biaya Rp79.000. Dengan catatan tempat tidur berada di bagian bawah. Kalau yang lebih murah atau beda Rp10.000 tempat tidurnya ada di bagian atas. Hanya perlu berjuang, naik tangga dulu baru bisa tidur.

Sudah pagi, waktunya melanjutkan perjalanan. Cari sarapan dulu. Di Semarang itu kalau pagi, warung makan pinggir jalan belum banyak yang buka. Paling-paling di area tempat wisata. Karena yang terdekat dari tempat penginapan adalah Masjid Agung Semarang. Jadi saya memutuskan untuk cari sarapan disana.

Sebenarnya itu juga saran abang gojek sih. Sarapan yang murah dan enak itu ya nasi ayam. Selain harganya terjangkau, gorengan tempenya juga sangat murah. Rp500 bisa dapat dua. Es teh manis, atau bahasa kerennya sweet iced tea itu hanya Rp2.000/gelas. Sangat cocok dikantong para karyawan, ditanggal tua seperti saat ini.

Masjid Agung Semarang

Sudah kenyang, saya masuk mengunjungi Masjid terbesar di Jawa Tengah itu. Yang punya payung Ikonik, mirip payung yang ada di Masjid Nabawi. Luas sekali. Karena ini masih pagi, jadi belum banyak yang datang kesini. Ada sih beberapa rombongan bis, datang kesana. Untuk menyaksikan saudaranya akad nikah, haha?

Melihat payung-payung itu saya jadi membayangkan, kalau saya ke Madinah. Ke Masjid Nabawi. Menyaksikan payung-payung itu terbuka, sholat dan ibadah disana. Saya akan lebih excited dan terharu. Untuk selanjutnya saya akan kesana (Baca : Masjid Nabawi)

Note : Silakan beri komentar “Aamiin” pada kolom komentar dibawah postingan ini

Kota Lama

Melanjutkan perjalan ke Kota Lama. Mirip Kota Tua yang ada di Jakarta, hanya saja tidak seramai Kota Tua. Bangunannya yang tua dan kusam itu menjadi daya tarik wisatawan. Bangunan zaman Belanda. Dari Masjid Agung Semarang, saya putuskan naik angkutan umum atau koasi. Dirasa-rasa kalau liburan, dan ingin jalan-jalan kesetiap tempat wisata naik ojek online, mahal juga.

Nah karena dari kunjungan ini juga, saya jadi tahu. Bahwa saya tidak perlu mengeluarkan uang mahal-mahal untuk kunjungan ke berbagai tempat wisata. Di Semarang itu kan ada juga Trans Semarang seperti di Jakarta. Tarifnya juga lebih murah 2x lipat.

Lawang Sewu

Tempat wisata yang identik dengan cerita horornya. Biasanya lokasi ini jadi tempat uji nyali, seperti yang ada di acara-acara TV yang ditayangkan ditengah malam. Lawang sewu tempat sejarahnya perkeretaapian Indonesia.

Sejak SD saya ingin sekali mengunjungi tempat ini. Ternyata baru bisa kesampaian di usia 19 tahun ini. Dan biasa-biasa saja. Tidak seram. Karena saya kesana siang hari. Numpang ngadem, diluar terik sekali.

Sam Poo Kong

Hari pertama liburan ke Semarang, hari terakhir juga karena langsung pulang. Yang terakhir ini mengunjungi Sam Poo Kong.

Disini tempat wisata yang ceritanya adalah bekas persinggahan dan pendaratan pertama seorang Laksamana Tiongkok beragama Islam yang bernama Zheng He/Cheng Ho.

Mie Kopyok

Melepas lelah, perut terasa lapar. Sedari di Bekasi, saya penasaran dengan makanan khas Semarang, Mie Kopyok. Dari namanya sepertinya cara buatnya dioyok-oyok. Isian lontong, mie kuning, dengan kuah mirip sop bening, ditambah tahu segitiga yang diiris, ditaburi irisan daun seledri dan diatasnya diberi remukan krupuk gendar. Ditambah sambal terasi, rasanya enak.

Tapi ada yang saya sayangkan, yaitu banyak batu dipotongan lontongnya. Mengurangi kenikmatan makan saya.

Sudah sore, saya harus kembali ke Stasiun. Meninggalkan Kota Semarang. Saya harus kembali melanjutkan perjalanan ke Pekalongan, daerah yang memiliki julukan Kota Batik itu.

Pekalongan

Tidak sepanjang cerita saya di Kota Semarang, karena disana pun tempat wisata itu jarang. Paling-paling pantai, tapi sepi pengunjung. Hanya saja di Kota Batik ini ada beberapa kebiasaan yang unik. Semisal, jarang minum air mineral.

Mungkin hampir semua orang yang tinggal di Pekalongan itu tidak suka minum air mineral, air bening, air rebusan, atau air yang tidak berwarna lah. Karena sewaktu saya disana, hampir setiap pagi, siang dan sore sehabis makan itu pasti minumnya teh manis. Anehnya semua gigi orang-orang disana kuat-kuat dan bersih, putih. Sayangnya banyak sampah plastik bekas teh manis kemasan disetiap pekarangan rumah warga.

Kemudian disetiap rumah, pasti selalu ada tulisan “Mohon Do’a Restu” yang dipajang. Baik diatas pintu masuk, atau diruang tamu. Tulisan ini memberikan tanda. Bahwa dirumah tersebut, pernah mengadakan suatu acara. Entah itu pernikahan, sunatan, atau kelahiran anak (gunting rambut).

Dan yang terakhir, kalau disini makan nasi itu harus pakai megono. Megono itu nangka muda yang dimasak dengan parutan kelapa dan irisan cabai kriting. Tapi menurut saya, dilidah saya khususnya, makanan itu terasa sangat aneh. Karena saya tidak suka daging kelapa?

Aku Si Anak Bandel

Cerita ini sebenarnya sudah lama saya tuliskan, tapi masih tersimpan di draft. Karena hari ini adalah deadline menulis blog dan bingung ingin menceritakan sesuatu tentang apa. Akhirnya cerita yang sudah ada dirangkum kembali.

Bagi yang menyimak cerita-cerita saya sebelumnya pasti sudah tahu tentang keberanian saya menjelajah kota-kota yang ada di Pulau Jawa. Tapi sebelum cerita itu ada, sebenarnya saya adalah orang yang penakut. Takut bertanya, takut nyasar, takut pergi ke tempat jauh sendirian.

Karena sifat penakut itu, saya putuskan untuk pergi ke Semarang, ikut teman saya. Bertepatan juga dengan H+3 lebaran, saya langsung berburu tiket untuk bisa sampai ke Semarang.

Bolak-balik refresh situs resmi PT Kereta Api Indonesia. Hasilnya nihil. Saya kehabisan tiket. Keduluan. Gagal liburan.

Tapi karena saya niat. Saya buka peta Pulau Jawa yang ada rute perjalanan kereta apinya.

Untuk menghemat biaya, saya memilih untuk transit di beberapa stasiun. Tetapi dengan pertimbangan jadwal kereta yang akan saya tumpangi selanjutnya, untuk keberangkatannya harus lebih mundur 3 jam dari sampainya kereta pertama yang saya tumpangi.

Artinya jika saya naik KA Tegal Express dengan jam keberangkatan 07.25 WIB dari Stasiun Pasar Senen dan sampai di Stasiun Brebes pukul 11.45 WIB. Maka, kereta selanjutnya yang saya tumpangi, minimal jam keberangkatannya ada di pukul 15.00 WIB, start dari Stasiun Tegal.

Tujuannya supaya saya tidak tertinggal kereta selanjutnya, khawatir ada keterlambatan dari kereta pertama untuk sampai di stasiun transit.

Malam itu sebenarnya saya sudah menyerah, tidak mau ikut liburan. Apalagi hanya berdua saja. Perempuan dua-duanya juga. Tapi saya masih penasaran, saya cari kereta dengan tujuan Ps. Senen – Tegal.

Kenapa Tegal? Karena saya punya teman empat sekawan yang tinggal disana. Dan saya pikir satu hari boleh juga, bisa dua tempat sekaligus untuk saya kunjungi. Karena di peta, dua daerah itu satu arah.

Tapi sayang saya kehabisan tiket. Saya cari lagi. Terpikirkan oleh saya. Tetangga dekatnya Tegal itu siapa? Ternyata si Brebes. Saya paksakan cari tiket Ps. Senen – Brebes. ADA! Langsung saya pesan tiketnya. Urusan saya sampai di Brebes mau kemana itu belakangan. Yang penting saya sampai disana dulu. Jaman sekarang kan ada ojek online. Semua bisa dengan mudah dipesan secara online.

Selanjutnya saya mencari tiket untuk bisa sampai ke Semarang. Tegal – Semarangponcol. Ada. Masih banyak. Dan ternyata saya satu kereta dengan teman saya yang mengajak liburan itu. Semula dari kesepakatan bertemu di stasiun tujuan akhir Semarangponcol ternyata bertemu di kereta. Karena dia start dari Stasiun Pekalongan. Naik kereta yang sama.

Sebelum menceritakan bagaimana liburan saya di Semarang. Saya ingin menceritakan bagaimana liburan saya transit di Brebes dan Tegal.

Saya yang pada waktu itu baru pertama kali main jauh-jauh ke kampung orang, sampai di Brebes. Daerah yang identik dengan bawang merah dan telur asin. Yang biasanya dijajakan disepanjang jalan, yang disebut jalur pantura itu.

Awalnya saya juga memutuskan untuk lanjut perjalanan ke Tegal. Dengan usaha sendiri. Tetapi saya juga sudah usaha sih, untuk kabari teman yang ada di Tegal khawatir saya nyasar. Dan ternyata saya malah dijemput, di Stasiun Brebes. Oleh siapa? Oleh sepupunya Pak Boss. Kak Rani. Yang waktu itu baru pulang dari acara pernikahan temannya. Diajaklah saya ke Masjid Agung Brebes, letaknya disamping Alun-Alun Brebes, yang ada Monumen Bawang Merahnya. Dan saya baru tahu, ternyata rumah teman saya yang satu ini di Brebes saya kira semua orang Tegal. Ternyata tidak.

Kemudian mampir sekaligus lebaran kerumah tantenya si Boss. Disini saya disuguhi tahu aci. Yang harganya Rp7.000,- tapi banyak isinya. Artinya makanan ini sangat murah.

Pertemuan saya dengan ibunya Kak Rani, membuat saya tersinggung. Ibu nya bilang seperti ini ke saya.

“Oh ini, temannya yang dari Bekasi. Kamu sendirian? Wah, bandel ya bandel banget.”

Karena saya memang bandel, main jauh-jauh. Akhirnya saya cuma senyum-senyum saja. Kemudian pamit dan lanjut ke Tegal.

Kali ini kerumah Kak Winda. Disini juga saya disuguhi banyak makanan, yang tidak pernah ketinggalan. Tahu aci. Arum manis dan semua makanan yang manis-manis. Mengingat besok adalah hari lamarannya. Akhirnya kami memutuskan untuk singgah saja main sebentar di Alun-Alun Kota Tegal. Sebelum saya melanjutkan perjalanan ke Semarang.

Seperti biasa, sebelum kami sampai di alun-alun, maka harus saling samper menyamper. Yang terakhir mendatangi rumah Kak Nisa. Disini saya merasa tersingung lagi karena ucapan ibunya Kak Nisa. Sama seperti ibunya Kak Rani. Beliau bilang ini.

“Namanya siapa? Kesini sendirian. Dari Bekasi ya? Wah cewek tapi kok bandel.”

Karena saya malu, dan merasa nakal sekali. Akhirnya diperjalanan menuju alun-alun, saya memberanikan diri bertanya kepada Kak Rani.

“Kak Rani. Bandel itu kalau disini artinya apa? Nakal?”

Kak Rani bilang, “Bandel itu artinya berani, bukan nakal. Jadi kamu tuh dibilang bandel dari tadi itu bukan karena kamu nakal. Tapi berani.”

Mendengar itu saya jadi tertawa sendirian. Dan saya pikir, karena perbedaan bahasa dan arti. Saya jadi tersinggung sendiri. Padahal itu pujian. Maapkeun?

Jadi bagaimana perjalanan anak bandel selanjutnya di kota yang punya slogan Kota ATLAS itu. Ada di postingan selanjutnya?

Tapi besok ya….

 

Bakat Menulis Sudah Tertulis

Awal mengenal dan menulis blog itu, waktu saya masuk SMK jurusan TKJ. Dimana saya diharuskan posting tugas di blog. Belajar jadi blogger. Tapi yang paling sering saya posting adalah tutorial. Setiap seminggu sekali. Karena tugas selalu ada disetiap minggunya.

Tiap tengah malam, saya harus klik publish supaya minggu depan bisa dapat nilai.

Memposting cerita atau pengalaman hampir tidak pernah saya lakukan. Karena saya terlalu sibuk memikirkan, “memangnya kalau saya cerita dan mempostingnya siapa yang mau baca?

Tapi berbeda ketika saya sudah mulai bekerja di Excellent, setelah pulang brainstorming dari Puncak Cisarua, Bogor.

Semenjak itu juga saya sudah punya alamat website dengan nama domain sendiri, syaharani.web.id. Berasa jadi blogger sungguhan.

Berbekal pengalaman saya waktu SD, saat ikut lomba sinopsis.

Sebelumnya saya terpilih dalam seleksi lomba cerdas cermat untuk mewakilkan sekolah. Tetapi di akhir seleksi saya gagal. Dan akhirnya batal ikut lomba cerdas cermat.

Kemudian diganti dengan ikut lomba merakit perahu kecil dari bambu. Berteman dengan lem Korea. Yang kalau terkena kulit seperti terbakar.

Sudah cemong dengan lem itu, rok merah saya, sepatu saya dan baju seragam putih saya. Ternyata saya juga tidak jadi ikut lomba tersebut. Sempat jengkel. Merasa “Kok saya bodoh sekali ya, sampai nggk diikutkan lomba apa-apa”

Saya dipanggil ke ruang guru. Ternyata saya dipanggil untuk menggantikan teman saya yang ikut lomba sinopsis. Teman saya menggantikan saya untuk ikut lomba merakit perahu.

Saya sendiri tidak tahu, sinopsis itu seperti apa. Yang saya lakukan hari itu, hanya membaca satu cerita, kemudian menuliskannya kembali dengan gaya bahasa sendiri dan menggunakan huruf sambung, untuk selanjutnya menceritakan kembali kepada orang lain.

Kegiatan itu saya lakukan di ruang guru dua hari berturut-turut sebelum lomba dilaksanakan.

Di hari H, dengan nomor peserta 057. Saya maju mewakilkan sekolah. Pesertanya ada 172 siswa. Dari berbagai sekolah. Yang dipilih jadi juara nantinya hanya enam orang saja.

Selama satu setengah jam kami para peserta diberi waktu untuk membaca tiga cerita sekaligus. Kemudian diberi waktu satu setengah jam lagi untuk menuliskannya kembali. Siapa saja yang terpilih sebagai enam juara tersebut, berarti dia yang nantinya akan menceritakan kembali kepada juri. Disitu baru babak penentuannya, siapa juaranya dari yang paling juara.

Sebelum mendengar pengumuman babak final. Saya beserta team mengisi amunisi terlebih dahulu. Makan bakso dan es duren. Boleh nambah. Kalau juara. Bonusnya nanti dikasih dalam bentuk uang.

Sudah kenyang, terdengar pengumuman nomor perserta yang masuk babak final. Urutannya, 001, 038, 057 dan entah urutan tiga kebelakang saya lupa.

Intinya saya ada di antara enam orang tersebut. Saya senang juga takut. Masalahnya setelah makan, saya lupa jalan ceritanya. Saya sudah mengukur, bahwa didepan juri nanti saya pasti berhenti cerita karena lupa.

Benar saja, saya berhenti cerita. Saya lupa. Benar-benar lupa. Saya gagal menjadi juara I, II, III, Harapan I atau II. Saya hanya membawa pulang piala “Harapan III”. Juara akhirnya. Enam.

Tapi tidak apa-apa. Selain menambah pengalaman saya, ternyata itu kelebihan saya juga. Seandainya pun saya tetap ikut lomba merakit perahu, mungkin juga saya tidak membawa pulang piala. Seandainya pun teman saya yang tetap ikut lomba sinopsis, belum tentu juga dia bisa bawa pulang piala seperti saya.

Dalam arti, sebenarnya saya sudah menjadi penulis cilik zaman itu?

Dan di tempat saya bekerja saat ini, sedang digalakkan rutin menulis blog setiap seminggu sekali.

Berkat dari pengalaman lomba sinopsis itu juga, sekarang saya bisa cerita panjang lebar disini. Melatih gaya bahasa saya, menjadi lebih baik dan orang mengerti maksud dari cerita yang saya sampaikan serta memperbanyak kosa kata.

Juga mencoret kalimat ini “memangnya kalau saya cerita dan mempostingnya siapa yang mau baca?“.

Kalau pun orang lain tidak membacanya “so what?” saya juga tidak dirugikan. Setidaknya sebelum posting ini ada ibu saya yang sudah membaca dan mengoreksi tiap-tiap kalimatnya. Hehe?

Sugesti

Sebagian besar orang pada umumnya pasti sering mendengar kata “Sugesti”. Kata tersebut sering dikaitkan dengan hipnotis atau perbuatan yang cenderung negatif.

Sugesti adalah proses psikologis di mana seseorang membimbing pikiran, perasaan, atau perilaku orang lain atau mungkin dirinya sendiri.

Sejak mulai perkuliahan khususnya di mata kuliah pendidikan kepribadian. Saya baru menyadari. Malam ini. Alur dari cara dosen saya mengetahui sifat dan karakter setiap mahasiswanya.

Berawal dari mata kuliah tersebut, saya menyadari dan mulai mengenal karakter asli saya sendiri. Masalah kepribadian saya. Yang dominan dengan perilaku :

1. Sering merasa tertekan atau stress

2. Mencari aman untuk orang lain

3. Menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan

Ketiga masalah tersebut, sering saya alami atau mungkin sudah menjadi kebiasaan. Sering merasa tertekan atau stress, disebabkan karena saya terlalu memikirkan sesuatu yang membuat otak saya penuh dengan permasalahan. Timbul rasa selalu bersalah. Apapun yang saya lakukan adalah salah. Akhirnya sulit mencari solusi. Putus asa. Terus begitu. Tertanamlah sugesti, “kamu selalu salah”.

Stress itu sebenarnya kita sendiri yang buat. Kenapa saya bisa stress? Awalnya saya pasti menyesali setiap tindakan yang saya lakukan sebelum peristiwa tidak mengenakkan terjadi. Seperti, “Kenapa tadi begitu?”
“Kenapa tadi nggk begini saja?”
“Seharusnya saya nggak melakukan itu!”

Dan terus menyalahkan diri sendiri. Punya masalah tapi tidak punya solusi. Bercerita ke orang lain, orang lain pun sama-sama punya masalah. Lalu? Lalu saya sampaikan saja pada tulisan ini.

Itu contoh sugesti negatif yang ada pada diri saya. Tidak patut dicontoh dan sebaiknya selalu tanamkan sugesti positif.

Selanjutnya, mencari aman untuk orang lain. Mengapa saya menyebutkan seperti itu. Saya memiliki rasa “tidak enakan” terhadap orang lain. Hal ini membuat saya menjadi takut mengungkapkan isi hati dan takut menyampaikan apa yang saya rasakan.

Kadang apa yang tidak sepenuhnya saya lakukan, harus saya terima konsekuensinya sendiri. Seperti halnya melakukan sesuatu, yang sebenarnya saya hanya melanjutkan saja. Tapi karena finalnya disaya. Otomatis jika terjadi kesalahan, saya yang disalahkan. Padahal saya hanya meneruskan. Tapi kadang saya bilang pada diri sendiri, “Yaudahlah gapapa diomelin, yang penting dia jangan. Ga enak soalnya, nanti berantem.”

Begitu terus dan selalu. Alhasil, kalau dilihat akhir-akhir ini, saya sendiri yang nilainya kurang bagus. Padahal saya bisa jelaskan dan katakan, alurnya seperti apa. Saya punya alasan. Tapi balik lagi ke rasa “tidak enakan” itu. Membuat saya memendam sendirian.

Saya jadi penakut. Ini kelakuan buruk saya. Jangan ditiru. Saya pun malu sebenarnya. Dengan pertimbangan jika saya ubah itu, pasti banyak orang yang tidak suka.

Dan yang terakhir, menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan. Saya adalah termasuk orang yang kalah sebelum berperang. Tidak percaya diri. Setiap tindakan yang tidak biasanya saya lakukan seperti presentasi di khalayak banyak atau ujian sertifikasi MTCNA contohnya, pasti membuat saya kalah diawal. Entah itu saya jadi nervous, keringat dingin, perut tiba-tiba mules atau mungkin tidak percaya diri pada jawaban sendiri dan lain sebagainya.

Biasanya saat saya ada diposisi seperti ini. Saya tunjukan dengan lompat-lompat panik dan tidak berhenti berbicara atau tanya ke diri sendiri, “nanti gimana ya aduhhhh?”. Seperti orang gila. Nanya sendiri, jawab sendiri, ketawa sendiri.

Tapi dari semua keraguan dan kekhawatiran saya, ada satu keyakinan. Di masa SMP dulu. Masih teringat saat saya mulai masuk ke kelas 9 SMP. Di semester awal. Guru agama saya Pak Syaifulloh. Beliau menjelaskan dan menerangkan tentang kekuatan Surah Al-Insyirah.

Beliau mengatakan, “Kalau kamu berada diposisi kesulitan, coba baca Surah Al-Insyirah. Sebanyak-banyaknya. Allah akan bantu, dengan meringankan beban kalian.”

Kalimat-kalimat itu menjadi sugesti positif untuk saya. Dari dulu, sekarang dan seterusnya. Setiap kali saya merasa cemas, kesulitan dan beberapa momen menegangkan. Saya selalu berhasil dan sukses. Bukan karena kalimat sugesti guru saya, tapi karena saya yakin inti sugestinya. Saya yakin, dengan saya membaca surah tersebut berkali-kali. Allah pasti mendengar dan akan kabulkan serta membantu saya. Berprasangka baik kepada Allah.

Buah dari kekhawatiran saya setelah meyakini bahwa Allah pasti bantu saya adalah lulus sertifikasi MTCNA. Bukan hanya karena beruntung tapi ini buah dari saya melawan kekhawatiran. Saya berani berperang dan ternyata saya menang.

Nggak Tahu! Karena Takut Salah Pencet

Perkembangan teknologi hingga kini semakin canggih. Dari mulai komputer tabung gendut sampai laptop dengan bentuk tipis, setipis laptop saya (baca: MacBook Air).

Kemudian pesawat telepon berkembang menjadi handphone. Yang paling terkenal waktu saya baru mulai sekolah TK, Nokia. Disebut sebagai handphone sejuta umat. Hingga saat ini muncul smartphone dari beragam tipe dan merk. Sudah layar sentuh semua.

Paling-paling handphone yang masih ada tombolnya yang kalau dipencet keras, hanya konter pulsa saja mungkin yang masih punya sampai sekarang.

Kegiatan sehari-hari pun semakin canggih. Bisa dilakukan secara online. Beli makanan online. Belanja pakaian online. Cari jodoh juga online.

Tapi, masih adakah orang yang gaptek alias gagap teknologi? Ada. Banyak sekali. Lambat mengikuti perkembangan zaman.

Akhir-akhir ini saya menemukan beberapa kejadian dimana masih banyak orang yang belum mengerti cara mengoperasikan laptop atau aplikasi.

Sebagai contoh, waktu seminggu yang lalu. Saat kuliah kelas malam. Mata kuliah Pendidikan Pancasila. Sebelum belajar, membiasakan diri menyanyikan lagu kebangsaan. Khusus mata kuliah tersebut.

Dosen saya sudah siap dengan laptopnya dan materi presentasinya. Hanya saja dosen saya tidak tahu cara mengkoneksikan antara laptop dengan projector supaya bisa menampilkan presentasi.

Saya perhatikan. Beliau kesulitan sendiri. Sudah 15 menit, beliau masih asik dan sibuk usaha bagaimana bisa menampilkan slide presentasinya dilayar projector.

Mungkin karena menyita waktu banyak, akhirnya beliau meminta tolong kepada kami semua. Anak didiknya.

Saya masih diam.

Belum ada yang maju juga untuk membantu beliau. Akhirnya saya yang maju. Menghampiri mejanya. Saya mulai atraksi mengarahkan kursor.

Pak dosen sibuk bolak-balik tanya ke saya, “Mbak bisa nggak mbak, ini nya dibikin jadi dua disebelah sini, nanti muncul disitu *sambil tunjuk layar

Saya bilang, “Bisa pak

Kata pak dosen lagi, “Tadi sebelum kesini saya dibilangin suruh pencet F5. Tapi kok begitu-begitu aja ya. Saya bingung.

Padahal saya hanya perlu membantunya klik 2x di icon slide show, di pojok kiri atas.

Akhirnya, muncul lah tampilan yang dimaksud dosen saya. Saya kembali ketempat duduk. Diiringi tepuk tangan dari teman sekelas.

Itu mudah. Bagi saya yang sudah tahu dan paham caranya. Sulit bagi mereka yang tidak tahu dan awam terkait hal tersebut.

Lalu apakah saya bisa disebut lebih keren dari mereka yang tidak mengerti? Tentu tidak. Mereka sebenarnya juga bisa. Hanya saja atau mungkin mereka takut salah pencet kemudian muncul tampilan aneh. Dan sulit mengembalikannya.

Sama seperti saya dulu, waktu saya belum mengerti apa itu softcopy dan hardcopy. Sejak kelas 7 SMP, saya sudah punya laptop dan smartphone. Sebenarnya kalau saya kritisi itu, saya kepo dan saya mau mempelajari, mungkin saya tidak perlu masuk SMK TKJ hanya untuk menghilangkan kegagapan saya terhadap teknologi.

Bahkan saya baru bisa dan mengerti cara print out kertas itu saat saya PKL di tempat bekerja saya sekarang ini. Malah setelah saya bisa melakukan hal mudah itu, jadi sering disuruh si Boss print out gambar menggunakan printer khusus. Install drivernya diatas OS Linux. Dulu. Waktu masih muda.

Yang kedua waktu saya meminta teman saya untuk saling follow instagram. Zaman sekarang siapa yang tidak kenal instagram. Hampir setiap orang punya aplikasi unggah foto bernama instagram ini.

Teman saya itu. Nurhaeni. Saya katakan seperti ini kepadanya, “Nur follow ig gue dong

Dia jawab, “Oh iya, boleh.”

Tapi dia seperti kebingungan. Kemudian menyodorkan smartphonenya kepada saya. Dia bilang, “Nih lu follow sendiri ya. Abis gue bingung kalo ditanya ig. Coba nama ig gue yang mana sih? Yang atas ini apa yang bawahnya?

Saya refleks, jadi menertawakannya. Saya jelaskan, “Nama ig lu itu yang ini nih, yang diatas foto.

Katanya lagi, “Oh yang itu. Pantesan ya kalo orang tanya nama ig gue apa, terus gue ketikin. Udah bener namanya, tapi kok fotonya bukan foto gue ya. Terus ini kok diig lu ga ada tulisan mengikuti. Adanya pesan. Ini ig lu kenapa?

Saya semakin tertawa geli karena ketidaktahuannya. Saya jelaskan lagi, “Itu udah saling follow. Makanya tulisannya berubah jadi kirim pesan. Jangan norak napa.

Dan saya lihat dilayar smartphone miliknya itu memang hanya ada dua aplikasi hasil unduhannya saja. WhatsApp dan Instagram, itupun iconnya masih versi yang lama, belum upgrade. Yang warna kameranya masih coklat.

Mungkin kalau dia juga tahu bahwa saya sama dengannya, waktu saya belum mengerti cara pesan ojek online. Dia bisa balik menertawakan saya.

Masih teringat saat saya pertama kali pesan ojek online dan langsung di accept kemudian dijemput. Saat kunjungan ke MNC Tower dan ingin melanjutkan perjalanan ke Wisma Cormic. Jakarta Pusat.

Kala itu tarifnya Rp2.000. Tarif untuk pelanggan pertama ojek online. Disitu pertama kali saya naik ojek online.

Sebelum-sebelumnya saya sudah coba memesan ojek online. Tapi tidak pernah ada yang mau pick up saya. Karena alamat rumah saya yang terpencil dipedalaman Rawa Bebek Bendungan. Mau tidak mau saya harus jalan terlebih dahulu. Ke depan. Ke jalan besar. Baru mau ada yang pick up.

Ketidaktahuan itu terpelihara selama beberapa tahun dari awal munculnya aplikasi ojek online tersebut. Karena saya takut salah pencet, saya takut abang gojek tidak menemukan alamat saya kemudian dicancel, menunggu kembali dan sebagainya. Alhasil untuk mencari tahu dan mengerti hal itu saya harus dalam keadaan benar-benar ‘ya mau gimana lagi?’ Mau nggak mau mulai saat ini saya sudah harus bisa caranya pesan ojek online, belanja online. Karena cuma itu yang bisa diandalkan di zaman yang serba online dan teknologi canggih ini.

Aku? Sudah Jadi Mahasiswi?

Sejak hari Senin kemarin, saya sudah memulai perkuliahan di institut tercinta. STIAMI. Saya seperti jilat ludah sendiri. Pasalnya saya pernah mengatakan “tidak mau kuliah disana”. Nyatanya sekarang saya jadi salah satu mahasiswa nya.

Hari pertama kuliah. Semangat itu pasti, terlalu semangat juga mungkin. Di jadwal perkuliahan saya itu tertera jam masuk pukul 17.00 WIB hingga 22.00 WIB. Cukup lama, lima jam belajar untuk mengejar 19 SKS dalam satu semester ini.

Sekitar 16.30 WIB lebih sedikit saya sudah keluar kantor, menuju kampus. Untungnya kampus saya dekat dengan tempat kerja. Paling-paling kalau telat pasti karena macet dihadang palang pintu rel kereta, menunggu 2 sampai 3 kereta melintas secara bergantian.

Nama saya terdaftar di Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) STIAMI. Jurusan Ilmu Administrasi Publik/Negara. Terkonsentrasi di Administrasi Perpajakan. Bukan basic saya dalam hal hitung menghitung. Di SMK dulu, selama 3 tahun saya belajar ilmu IT. Hanya saja pernah pengalaman satu tahun bekerja dibagian Finance & Accounting, kemudian tertarik dengan perpajakan. Karena alasan tertentu.

Di hari pertama ini, selain saya datang ontime ternyata saya juga dapat dosen pengajar yang tidak suka buang-buang time. Artinya, dia manfaatkan waktu untuk semaksimal mungkin mengejar materi. Dalam mata kuliah dasar-dasar akuntansi.

Dengan segala kedisplinannya, dibuatlah peraturan seperti ini :

1. Mahasiswa harus datang tepat waktu, apabila datang terlambat dengan alasan apapun maka dianggap tidak hadir.

2. Tidak diperkenankan membunyikan dan membuka handphone ketika kegiatan belajar sedang berlangsung. Yang diatas meja hanya buku note dan pulpen.

3. Menghitung menggunakan kalkulator atau alat hitung lainnya. Tidak boleh kalkulator hp atau laptop.

4. Pengumpulan tugas sesuai deadline, apabila lewat dari batas pengumpulan tugas maka dianggap tidak mengerjakan.

5. Kuis tidak menggunakan kertas atau alat catat lainnya, harus maju satu persatu tulis langsung di papan tulis.

6. Ketika UTS atau UAS wajib menggunakan pensil 2B.

Serasa seperti waktu SMP dulu.

Yang semula saya kira masih masa-masa perkenalan dan mungkin tidak belajar ternyata malah belajar dan dapat tugas. Masih dasar lho ya, tapi sudah lumayan buat otak seperti kelebihan kapasitas.

Ketika pelajaran ini berlangsung, mata saya seperti dipaksa untuk bangun. Terus memperhatikan dosen itu, kekanan atau kekiri. Terus saya ikuti, hingga jam pelajarannya berakhir. Pelajaran yang disampaikan beliau, ternyata ada semua di aplikasi Zoho. Aplikasi keuangan di kantor saya. Jadi saya masih bisa santai.

Masuk ke mata kuliah kedua. Bahasa Inggris I. Waktu menunjukkan pukul 20.00 WIB. Semangat mulai kendor. Ngantuk. Padahal di mata kuliah ini hanya belajar cara perkenalan diri formal/informal. Mudah tapi malu dipraktekkan.

Dari awal hingga akhir pelajaran, dosen saya yang dahi dan sebagian kepalanya selalu bersinar itu berbicara dalam bahasa inggris. Alhamdulillah saya paham dan mengerti. Yang kasihan itu teman depan dan kanan kiri saya.

Teman depan saya tinggal di Rawa Kuning, teman kanan saya tinggal di Rawa Lumbu, dan teman kiri saya tinggal di Kp. Bulu daerah Tambun. Mereka semua orang betawi asli. Nyablak beud. Mereka protes ke dosennya. Minta jangan ngomong pakai bahasa Inggris terus. Nggak ngerti.

Di sesi motivasi.

Kata teman kiri saya dengan logatnya, “Liat dah, mata dosennya ngondoi ya, udah botak separo, suaranya mirip, pas banget lagi motivasiin orang. Mirip siapa dah? Mirip Mario Teguh kaga pake kacamata

Rumpi. Gara-gara ucapan itu barisan sejajar saya tertawa. Dosen bahasa Inggris saya itu sadar. Kemudian dia jelaskan. Three problems of listening (tiga masalah dalam belajar)

1. False Listening (Salah Mendengarkan)
2. Distraction (Gangguan)
3. Critical Listening (Mengkritik Pelajaran)

Sambil matanya selalu ke arah barisan sejajar kami. Mungkin itu singgungan untuk saya dan teman-teman saya.

Lagi pula sudah malam. Kelas saya yang terakhir keluar. Belajar bahasa Inggris itu salah jadwal, alhasil jawabnya “yes yes yes” saja biar cepat pulang. Sudah gelisah, melihat kelas lain sudah dipulangkan. Tapi kata dosen saya itu termasuk kedalam “masalah gangguan”, yang ada di nomor dua. Jadi kami meneruskan pelajaran hingga jam 21.45 WIB. Sampai kampus mulai gelap.

Sungguh kesan kuliah pertama yang melelahkan. Seperti ini rasanya kuliah selepas bekerja.

Tapi saya appreciate juga kepada teman-teman seperjuangan yang sudah berkeluarga atau buruh pabrik menjelang habis kontrak, yang masih mau belajar. Cari ilmu. Untuk masa depan. Ada keinginan kuliah, dan berani menjalani saja itu sudah punya nilai tambah. Bonusnya nanti kalau sudah lulus, ada gelar S.AP dibelakang nama kami semua yang saat ini sedang mengejar reward tersebut. In Shaa Allah.

Mengejar, Menyelesaikan, Mendapatkan

Bulan ini adalah bulan pertama saya masuk kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Bekasi. Walaupun baru dimulai minggu depan. Tapi tidak masalah, yang penting saya bisa kuliah tahun ini.

Saya lulus dari SMK pada bulan Mei tahun 2017. Mulai bekerja di Excellent sekitar bulan April 2017, selang satu hari setelah UN dilaksanakan. Belum mau kuliah. Karena melihat keadaan waktu itu. Belum ada biaya dari diri sendiri. Itu salah satu cita-cita saya. Kuliah dengan biaya sendiri. Tujuannya supaya lebih menghargai uang dan waktu.

Akhirnya, saya memutuskan untuk mencari uang terlebih dahulu. Nabung setahun. Besyukur, karena Boss saya juga mendukung setiap karyawannya yang ingin melanjutkan pendidikan hingga dapat gelar Sarjana.

Perjuangan untuk bisa kuliah di tahun ini, tidak mudah. Dari mulai menahan diri untuk menabung, hingga kesulitan untuk bisa diakui sebagai mahasiswa baru.

Baru-baru ini, sekitar seminggu yang lalu. Ada kejadian dimana saya belum bisa juga validasi data sebagai mahasiswa baru. Saya panik, karena perkuliahan akan dimulai dua minggu lagi.

Teman-teman satu kantor pun sudah mulai bertanya “kapan masuk kuliah?“.

Saya cuma bisa jawab “Nanti tanggal 17, Senin depan“.

Padahal saya belum tahu lebih lanjut soal data diri saya yang sulit divalidasi.

Waktu itu saya ke kampus untuk ambil buku rekening mahasiswa. Karena saya bayar lebih awal sebelum perkuliahan di mulai, seharusnya saya dapat souvenir dari kampus. Tapi sampai saat itu saya belum juga dapat souvenir. Saya minta ke bagian Accounting, dan jawabannya adalah saya tidak bisa ambil souvenir karena keterangan di data mereka saya belum bayar kuliah.

Saya kaget. Bagian Accounting bilang untuk tanya ke bagian Marketing. Saya konfirmasi bukti bayar kepada kedua bagian tersebut. Hasilnya, tetap sama.

Saya dioper kesana kemari. Tiap kali saya reminder ke bagian Marketingnya via Whatsapp jawabannya, “Santai, nanti juga bisa kok. Ini kesalahan di kami bukan mahasiswa“.

Tapi faktanya, sampai di minggu-minggu selanjutnya belum ada update informasi terkait hal tersebut. Sampai akhirnya, di hari Jumat minggu lalu. Saya asik cerita kepada rekan kerja tentang permasalahan bayar kuliah yang belum rampung. Yang sampai terdengar oleh si Boss.

Sontak si Boss tanya kenapa-kenapa nya. Saya gugup untuk jawabnya. Akhirnya saya jelaskan dari awal, sampai si Boss mengerti maksud saya.

Pak Boss bilang, bahwa kejadian seperti itu “harus segera diselesaikan, dikejar sampai dapat“. Kalau perlu bawa pihak berwajib, katanya. Karena saya seperti dipermainkan. Padahal niat saya mau belajar.

Dipikir-pikir benar juga. Saya sudah beberapa kali bolak-balik ke kampus dengan hasil nihil dan alasan yang sama. Padahal untuk masalah sekecil itu bisa diselesaikan dengan cepat. “Jika saya lebih tegas“.

Berhubung saya termasuk orang yang selalu merasa “tidak enak” bicara dengan maksud tegas ke orang lain. Akhirnya malah saya yang seperti dipermainkan.

Sore itu juga, si Boss mengizinkan saya pulang lebih awal untuk pergi ke kampus. Menyelesaikan permasalahan tersebut. Bersama dengan rekan kerja saya, yang berperan aktif menemani saya layaknya kakak.

Dan. Ketika saya sampai kampus, belum sempat saya bicara. Marketingnya bilang bahwa validasi NPM saya sudah berhasil. Saya curiga dia bisa telepati. Jadi dia bisa mendengar omongan Boss saya. Hehe?

*Nggk, itu khayalan tingkat tinggi saya saja.

Hari itu juga si Marketing instruksikan saya ke ruangan 105. Ambil baju, untuk dipakai besok, karena ada event penutupan ospek mahasiswa baru. Saya pura-pura tidak tahu soal event itu.

Yang saya tahu, bahwa saya “tidak diundang” atau “lupa diundang”?

Di hari Sabtu saya datang, untuk peresmian mahasiswa baru. Sudah bisa pakai almamater. Sudah resmi. Ada sekitar 3.000 mahasiswa baru yang datang ke event tersebut. Dan saya menyadari, bahwa saya adalah salah satu dari 3.000 mahasiswa baru yang tidak/lupa diundang ke acara tersebut.

Miris.

Yang penting saya sudah dapat jadwal kuliah. Dan siap kerja sambil kuliah hingga 4 tahun kedepan. Menunda kuliah saat ini, sama dengan menunda menikah selama setahun.

Jadi intinya, kalau ada sesuatu yang diinginkan semaksimal mungkin harus diusahakan, dikejar sampai dapat. Kata si Boss, “Kalau suka perempuan, coba kejar sampai dia bilang ‘iya’ dan mau sama kamu.

Nah saya juga sama, “Kalau kamu suka aku, kejar aku, sampai aku bilang iya”.

Iyaiyaiya?

Belajar Renang Sampai ke Tepian

Pekan lalu Excellent mengadakan kegiatan olahraga bersama. Saya menjadi salah satu peserta barunya. Kegiatan ini sudah berlangsung sejak bulan Juli lalu, dimana saya baru pulang liburan jalan-jalan seminggu.

Sebelum kegiatan ini dilaksanakan, kami sudah votting untuk tiap olahraga yang akan diikuti. Team laki-laki biasanya main futsal, team perempuan main badminton. Tapi kali ini berbeda, semua sama rata ikut olahraga main air. Berenang. Awalnya saya tidak ingin berenang. Berhubung lapangan badminton di hari Minggu khusus untuk member sport club disana, akhirnya saya harus ikut berenang.

Semua team diwajibkan datang dan kumpul di sport club jam 08.00 WIB.

Karena diawal kegiatan ini (bulan lalu) saya tidak ikut serta, jadi saya tidak tahu tempat olahraganya dimana. Diskusi di group. Kami team perempuan punya group sendiri, membernya hanya 3 orang saja termasuk saya sendiri. Janjian untuk kumpul sementara dan start dari Markas Excellent ke Sport Club Hafana.

Kesepakatan kumpul pukul 07.00 WIB. Karena saya merasa rumah saya yang paling jauh, akhirnya sebelum jam 07.00 saya sudah stay di Markas. Buru-buru. Sampai lupa jam biologis. Upload tiap pagi. Saya sudah mengira bahwa ini bakal jadi urusan. Tapi karena saya takut mereka berdua yang sampai lebih dulu dan mencak-mencak, akhirnya biar saya yang tunggu mereka.

Yang ditunggu-tunggu belum datang juga. Dua rekan saya itu. Ternyata mereka masih di rumah. Saya belum kesal. Masih biasa-biasa saja. Saya lihat di group sudah ada yang respon pertanyaan saya yang menanyakan keberadaan mereka. Salah satu dari mereka berdua, yang juga pemimpin barisan berangkat ke Hafana bilang “OTW”. Saya senang membacanya.

Jarak rumahnya ke Markas Excellent mungkin setengah dari jarak rumah saya ke Markas Excellent. Masih ada banyak waktu, saya putuskan isi bensin sebentar.

Saya cek kembali isi chat di group. Ternyata yang tadi bilang “OTW”, pulang lagi ke rumahnya. Upload dulu katanya. Kok saya mulai kesal ya. Untunglah yang satu lagi respon, kalau dia sedang siap-siap. Kemudian dia bilang “OTW”. Tidak lama kemudian, dia juga sama. Harus balik lagi ke rumahnya karena ingin upload.

Jadilah saya. Ikutan mules. Mereka berdua enak bisa pulang lagi. Lah saya? Harus nunggu mereka dulu, sampai di Hafana baru bisa ke toilet. Parah. Padahal pagi itu saya harus melewati kebiasaan saya. Upload kemudian sarapan. Kalau upload saya belum terlaksana, mana bisa saya sarapan.

Sekitar jam 07.30 WIB kami bertiga baru kumpul di Markas, dari janjinya yang sepakat “Jam 7 ya“.

Iyaiyaiya. Jam 7 lebih 30 menit.

Kami berangkat menuju Sport Club Hafana, dipimpin oleh Mbak Rahmi dan dipandu oleh Alifa. Tidak sampai setengah jam kami sampai ditujuan. Dan kami bertiga lah yang sampai duluan. Kesempatan saya untuk ke toilet sebentar. Biar tas saya mereka berdua yang jaga. Gantian.

Keluar dari toilet ternyata team yang lain juga sudah mulai kumpul. Satu per satu semua dibagikan tiket masuk ke kolam renang.

Salah satu alasan saya tidak ingin ikut berenang, karena malu belum bisa berenang. Main di air bisa. Berenang belum bisa.

Tapi ibu saya bilang, “kalo malu terus, dan nggak ada usaha untuk coba berenang sampe kapanpun juga nggak bisa-bisa. Ikut nyebur aja ke kolem, dipinggiran juga gapapa. Berendem dipojokan sampe melar.” Kira-kira seperti itulah bahasa Bekasi nya.

Ibu saya ini atlet renang dari Kebumen. Dulu setiap bagi raport kenaikan kelas, jika juara kelas. Ibu saya dan kakak-kakaknya langsung nyemplung ke kolam ikan milik nenek saya. Makanya ibu saya bisa bilang seketus itu?

Benar saja belum sampai masuk ke kolam renang. Saya bilang ke salah satu rekan saya. Seperti ini bunyinya, “Mbak Rahmi saya belum bisa berenang, ajarin ya?”

Ada anak kecil nyaut, “Hah?…. masa udah gede nggak bisa berenang“.

Terus langsung lari, pergi lagi ke kolam renang karena saya menengok ke arahnya. Mungkin juga dia takut.

Duh, makin-makin saja saya ingin bisa berenang. Sebelum berenang, saya tanya kolam yang paling dalam. Khawatir saya salah nyebur, nanti tenggelam. Atau air kolamnya keluar semua? Mustahil sih, saya ga seberat itu. Hehehe?

Dulu saya belum bisa sama sekali yang namanya gaya meluncur. Waktu ikut brainstorming di Pejaten, yang kebetulan ada kolam renangnya. Saya mulai diajarkan teknik meluncur. Oleh Boss saya. Berdua dengan Kak Rizky.

Kak Rizky, yang gaya renangnya sudah lebih baik dibanding saya. Buktinya dia mulai berani ke kolam yang tingginya 1,5 m. Sudah dijadikan gif juga gaya renangnya. Sedangkan saya dan team perempuan masih perkenalan dengan air kolam renang yang tingginya masih 1,2 m. Selamat untuk Kak Rizky?

Sudah sejam lebih saya di dalam kolam. Coba pindah ke kolam yang 1,5 m itu. Disana saya diajarkan teknik bernafas dalam air. Oleh Om Akoy (Adiknya si Boss). Mula-mula saya mencoba menahan nafas didalam air, hingga tubuh saya terangkat dan mengambang di permukaan air. Kemudian coba keluarkan gelembung udara dari hidung secara perlahan sambil gerakan kaki dan tangan untuk mengayuh maju kedepan hingga ke tepian. Dengan begitu jangkauan berenang saya bisa lebih jauh dari sebelumnya. Mungkin juga jika sebulan ini saya rutin berenang. Di bulan depan sudah bisa berenang dengan gaya lainnya.

Puas bermain air, kami semua Team Excellent makan siang bersama di Rumah Makan Bebek Slamet. Ini cara kami refreshing di akhir bulan. Tidak mewah namun tetap menyenangkan☺

Jejak Si Fathul

Seperti biasanya kegiatan rutin menulis blog ditiap minggu, dengan deadline di hari Kamis. Syarat supaya bisa makan siang bersama di hari Jum’at. Itu tujuan utamanya. Tujuan bersama rekan kerja sih, bukan tujuan saya saja. Hehehe?

Sebenarnya kegiatan makan bersama dihari Jum’at sudah ada sejak lama. Dari saya baru mengenal Excellent pun sudah ada. Tapi di masa sekarang ini ada ketentuan baru “Jika semua staff sudah menulis blog, maka makan siang di hari Jum’at diadakan. Kalau salah satu diantara kami ada yang belum tulis cerita di blog, maka makan siang di hari Jum’at ditiadakan.”

Tujuan yang sebenarnya itu supaya blog kami semua update dengan cerita-cerita yang baru. Membiasakan diri untuk menulis agar pandai merangkai kata?

Kadang saya bingung, minggu ini mau tulis cerita apa? Siapa yang akan saya ceritakan? Bingung seperti saat ini. Tapi di minggu ini ada saja cerita yang saya temukan, satu topik yang mungkin terbilang ‘gabut’.

Si Fathul. Saya biasa panggil dia Mas Fathul, karena dari usia pun lebih tua dia daripada saya. Walau saya mulai masuk kerja lebih dulu daripada dia, jadi hitungannya saya adalah seniornya.

Mas Fathul ini yang biasa bantu kami semua mengurus kebutuhan rumah tangga di Excellent. Teman berantem saya. Juga, teman berkebun si Boss di taman belakang Excellent.

Sering kali si Boss perintah dia untuk beli ini itu, contohnya seperti media berkebun dan bibit tanaman. Tapi kadang si Boss suka lupa kalau Mas Fathul sedang keluar kantor beli kebutuhan yang diperintahnya.

Si Boss suka tanya ke saya “Fit, si Fathul kemana?’

Saya sendiri pun suka tiba-tiba gagap jawab pertanyaan itu. Karena saya juga tidak perhatikan keluar masuk nya Mas Fathul ke kantor.

Kenapa saya yang ditanya? Karena posisi tempat kerja saya ada dibagian depan. Di meja resepsionis. Lalu lalang orang yang keluar atau masuk kantor itu pasti saya duluan yang tahu.

Berawal dari situ akhirnya saya coba bilang ke Mas Fathul “Kalau mau keluar bilang ke saya atau Mbak Rahmi (teman semeja saat bekerja), supaya kalau si Boss nyariin saya bisa jawab.”

Tapi Mas Fathul terbiasa menghilang begitu saja, ndak pamit bilang mau kemana. Sampai akhirnya saya bingung kalau si Boss tanya “Fathul kemana?”. Dan akhirnya mulai minggu ini, saya catat dibuku kemanapun Mas Fathul mau pergi.

Catat daftar perjalanan dia setiap hari. Dinas luar kantor. Itu juga kalau saya ingat, kalau tidak ingat ya terlewat. Tapi tetap saya usahakan catat, tanya siapa yang tahu dia pergi kemana untuk antisipasi si Boss tanya lagi ke saya “Si Fathul kemana?”. Tapi semenjak saya tulis, sepertinya Mas Fathul mulai sadar bahwa semestinya dia lapor ke saya. Jadi saya nggak perlu repot-repot nulis, macam sekretarisnya saja.

Pergabutan di minggu ini menambah satu cerita saya di blog. Mengumpulkan jejak kaki orang lain.

Senja di Puncak Kabupaten Wonogiri

Apa yang terlintas di benak kita ketika mendengar kata “Senja”. Matahari terbenam? Sore menjelang malam? Suasana romantis? Atau langit memerah?

Senja itu indah. Ia selalu datang, kemudian pergi kembali. Begitu seterusnya.

Sabtu, 21 Juli 2018. Satu bulan yang lalu. Dimana saya pergi liburan mengunjungi Wonogiri. Kangen Wonogiri kalau kata anak perantauan.

Ada hal yang membuat saya ingin menuliskan cerita lagi, dimana ada nama daerah yang sering menjadi label mie ayam atau bakso didalamnya. Bukan tentang liburan, bukan juga info wisata yang saya kunjungi. Yang mungkin belum saya masukkan dalam cerita sebelumnya.

Ini tentang seseorang. Seseorang yang saya takuti karena kedisiplinannya terhadap waktu. Disiplin terhadap agama atau kebiasaan lainnya. Hidupnya terbiasa rapih. Baca buku itu wajib baginya. Dan yang pasti dia ceria, membuat setiap orang yang berada didekatnya merasa bahagia.

Kesempatan yang diberikan bulan lalu oleh perusahaan tempat saya bekerja, mengantarkan saya untuk mengunjunginya.

Bahagia sekali. Mendengar kemenakannya datang jauh-jauh dari Bekasi. Saya disambut dengan baik, layaknya Putri Raja. Sampai saya bingung harus bagaimana? Karena diperlakukan terlalu istimewa. Katanya, “Kan nggak sering-sering, nggak setiap hari juga. Jadi dinikmati saja. Nggak usah sungkan.”

Dia selalu bertanya kepada saya, “Nduk kapan kamu mulai kuliah?”

Dan disambung dengan wejangannya. Yang sampai sekarang masih selalu terngiyang.

Katanya lagi, “Kuliah itu tidak wajib, tapi penting. Walaupun tidak semua orang yang punya gelar Sarjana itu sukses. Tergantung dari manusianya juga, dia mau merubah nasibnya atau tidak. Apalagi kamu anak pertama. Contoh bagi adik-adikmu. Kesuksesanmu adalah bila adik-adikmu juga sukses.”

Puncak Seper, Jatipurno, Kabupaten Wonogiri

Di puncak Kabupaten Wonogiri itu. Di waktu senja kala itu. Dia katakan kepada saya. Saya yang sibuk foto selfie. Dan ternyata itu menjadi nasehat terakhir dari nya untuk saya.

Tiga hari yang lalu. Waktu Subuh. Saya mendapat kabar duka. Kematian. Kehilangan orang yang kenyataannya membuat air mata saya jatuh tiap kali mengingatnya. Kaget. Tidak sakit tidak apa. Tapi Tuhan ambil dia. Memintanya untuk pulang.

Merasa kehilangan pasti. Apalagi saya baru bertemu dengannya satu bulan lalu. Diantar dan ikut menunggu keberangkatan kereta di Stasiun Solobalapan, hingga larut malam. Memastikan bahwa saya aman berada di Solo dan Wonogiri sebelum dilepas ke Malang.

Kematian itu pasti datang. Tidak mungkin kembali. Hanya satu arah yaitu pergi. Kematian itu hilang karena kehabisan waktu. Sedang, senja hilang atas perintah waktu.

Sempat berpikir, malam tadi Bude saya masih tidur dirumah. Tapi hari ini dia tidur di kuburan. Sendirian.