Nggak Tahu! Karena Takut Salah Pencet

Perkembangan teknologi hingga kini semakin canggih. Dari mulai komputer tabung gendut sampai laptop dengan bentuk tipis, setipis laptop saya (baca: MacBook Air).

Kemudian pesawat telepon berkembang menjadi handphone. Yang paling terkenal waktu saya baru mulai sekolah TK, Nokia. Disebut sebagai handphone sejuta umat. Hingga saat ini muncul smartphone dari beragam tipe dan merk. Sudah layar sentuh semua.

Paling-paling handphone yang masih ada tombolnya yang kalau dipencet keras, hanya konter pulsa saja mungkin yang masih punya sampai sekarang.

Kegiatan sehari-hari pun semakin canggih. Bisa dilakukan secara online. Beli makanan online. Belanja pakaian online. Cari jodoh juga online.

Tapi, masih adakah orang yang gaptek alias gagap teknologi? Ada. Banyak sekali. Lambat mengikuti perkembangan zaman.

Akhir-akhir ini saya menemukan beberapa kejadian dimana masih banyak orang yang belum mengerti cara mengoperasikan laptop atau aplikasi.

Sebagai contoh, waktu seminggu yang lalu. Saat kuliah kelas malam. Mata kuliah Pendidikan Pancasila. Sebelum belajar, membiasakan diri menyanyikan lagu kebangsaan. Khusus mata kuliah tersebut.

Dosen saya sudah siap dengan laptopnya dan materi presentasinya. Hanya saja dosen saya tidak tahu cara mengkoneksikan antara laptop dengan projector supaya bisa menampilkan presentasi.

Saya perhatikan. Beliau kesulitan sendiri. Sudah 15 menit, beliau masih asik dan sibuk usaha bagaimana bisa menampilkan slide presentasinya dilayar projector.

Mungkin karena menyita waktu banyak, akhirnya beliau meminta tolong kepada kami semua. Anak didiknya.

Saya masih diam.

Belum ada yang maju juga untuk membantu beliau. Akhirnya saya yang maju. Menghampiri mejanya. Saya mulai atraksi mengarahkan kursor.

Pak dosen sibuk bolak-balik tanya ke saya, “Mbak bisa nggak mbak, ini nya dibikin jadi dua disebelah sini, nanti muncul disitu *sambil tunjuk layar

Saya bilang, “Bisa pak

Kata pak dosen lagi, “Tadi sebelum kesini saya dibilangin suruh pencet F5. Tapi kok begitu-begitu aja ya. Saya bingung.

Padahal saya hanya perlu membantunya klik 2x di icon slide show, di pojok kiri atas.

Akhirnya, muncul lah tampilan yang dimaksud dosen saya. Saya kembali ketempat duduk. Diiringi tepuk tangan dari teman sekelas.

Itu mudah. Bagi saya yang sudah tahu dan paham caranya. Sulit bagi mereka yang tidak tahu dan awam terkait hal tersebut.

Lalu apakah saya bisa disebut lebih keren dari mereka yang tidak mengerti? Tentu tidak. Mereka sebenarnya juga bisa. Hanya saja atau mungkin mereka takut salah pencet kemudian muncul tampilan aneh. Dan sulit mengembalikannya.

Sama seperti saya dulu, waktu saya belum mengerti apa itu softcopy dan hardcopy. Sejak kelas 7 SMP, saya sudah punya laptop dan smartphone. Sebenarnya kalau saya kritisi itu, saya kepo dan saya mau mempelajari, mungkin saya tidak perlu masuk SMK TKJ hanya untuk menghilangkan kegagapan saya terhadap teknologi.

Bahkan saya baru bisa dan mengerti cara print out kertas itu saat saya PKL di tempat bekerja saya sekarang ini. Malah setelah saya bisa melakukan hal mudah itu, jadi sering disuruh si Boss print out gambar menggunakan printer khusus. Install drivernya diatas OS Linux. Dulu. Waktu masih muda.

Yang kedua waktu saya meminta teman saya untuk saling follow instagram. Zaman sekarang siapa yang tidak kenal instagram. Hampir setiap orang punya aplikasi unggah foto bernama instagram ini.

Teman saya itu. Nurhaeni. Saya katakan seperti ini kepadanya, “Nur follow ig gue dong

Dia jawab, “Oh iya, boleh.”

Tapi dia seperti kebingungan. Kemudian menyodorkan smartphonenya kepada saya. Dia bilang, “Nih lu follow sendiri ya. Abis gue bingung kalo ditanya ig. Coba nama ig gue yang mana sih? Yang atas ini apa yang bawahnya?

Saya refleks, jadi menertawakannya. Saya jelaskan, “Nama ig lu itu yang ini nih, yang diatas foto.

Katanya lagi, “Oh yang itu. Pantesan ya kalo orang tanya nama ig gue apa, terus gue ketikin. Udah bener namanya, tapi kok fotonya bukan foto gue ya. Terus ini kok diig lu ga ada tulisan mengikuti. Adanya pesan. Ini ig lu kenapa?

Saya semakin tertawa geli karena ketidaktahuannya. Saya jelaskan lagi, “Itu udah saling follow. Makanya tulisannya berubah jadi kirim pesan. Jangan norak napa.

Dan saya lihat dilayar smartphone miliknya itu memang hanya ada dua aplikasi hasil unduhannya saja. WhatsApp dan Instagram, itupun iconnya masih versi yang lama, belum upgrade. Yang warna kameranya masih coklat.

Mungkin kalau dia juga tahu bahwa saya sama dengannya, waktu saya belum mengerti cara pesan ojek online. Dia bisa balik menertawakan saya.

Masih teringat saat saya pertama kali pesan ojek online dan langsung di accept kemudian dijemput. Saat kunjungan ke MNC Tower dan ingin melanjutkan perjalanan ke Wisma Cormic. Jakarta Pusat.

Kala itu tarifnya Rp2.000. Tarif untuk pelanggan pertama ojek online. Disitu pertama kali saya naik ojek online.

Sebelum-sebelumnya saya sudah coba memesan ojek online. Tapi tidak pernah ada yang mau pick up saya. Karena alamat rumah saya yang terpencil dipedalaman Rawa Bebek Bendungan. Mau tidak mau saya harus jalan terlebih dahulu. Ke depan. Ke jalan besar. Baru mau ada yang pick up.

Ketidaktahuan itu terpelihara selama beberapa tahun dari awal munculnya aplikasi ojek online tersebut. Karena saya takut salah pencet, saya takut abang gojek tidak menemukan alamat saya kemudian dicancel, menunggu kembali dan sebagainya. Alhasil untuk mencari tahu dan mengerti hal itu saya harus dalam keadaan benar-benar ‘ya mau gimana lagi?’ Mau nggak mau mulai saat ini saya sudah harus bisa caranya pesan ojek online, belanja online. Karena cuma itu yang bisa diandalkan di zaman yang serba online dan teknologi canggih ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *