Penjelajah Gedung Tinggi

Sepulang dari liburan, saya diberi tugas untuk kunjungan ke Vendor selama dua hari. Tugas luar kantor lah nama kerennya. Bersama rekan kerja saya. Saya berangkat naik kereta jurusan Bekasi – Sudirman. Karena memang letak gedungnya ada didaerah Gatot Subroto, Jakarta.

Gedung tinggi. Jujur ini gedung tertinggi yang pernah saya kunjungi. Selama ini yang saya bayangkan adalah, hanya orang-orang sukses yang bisa masuk ke gedung tinggi. Tapi ga juga, saya yang otw sukses bisa juga masuk dan bekerja sementara disana. Dan untungnya saya sudah mahir masuk ke gedung tinggi. Jadi ga minder lagi. Bisa bergaya petantang petenteng 😀

Setelah menukar kartu identitas dengan id card visitor. Saya langsung naik lift menuju lantai 12 tempat training dan test dilaksanakan.

Seharusnya training dimulai dari pukul 09.00 – 17.00 WIB. Tapi di hari pertama, training baru dimulai pukul 10.00 WIB ngaret 1 jam. Karena banyak peserta yang datang telat termasuk saya dan rekan saya. Kami datang dari Bekasi, memperkirakan perjalanan dari Bekasi ke Gatot Subroto satu setengah jam. Ternyata diperjalanan kami banyak menemukan masalah, dari mulai tunggu kereta lama, sampai keluar stasiun naik go-car diajak muter-muter karena si pengemudi tidak cek ulang peta ketempat yang kami maksud. Yang seharusnya sudah sampai sebelum pukul 09.00 WIB kami sampai pukul 09.35 WIB.

Saya tanya-tanya digroup diskusi, “kalau terlambat gimana?”. Trus salah satu rekan saya yang stand by dikantor jawab, “kalau kemarin sih disuruh nyanyi”.

Selama perjalanan, saya mikirin mau nyanyi apa nanti kalau sudah sampai gedung telat. Saya mikirin karena saya malu. Malu karena telat dan malu kalau disuruh nyanyi beneran. Tapi itu tipuan, nada penyampaiannya saja yang serius. Ternyata sampai sana, saya malah dikasih snack pagi dan disediakan kopi.

Banyak juga peserta yang ikut event ini. Dan rata-rata pesertanya sudah diatas 25 tahun. Saya yang termuda, 18 Tahun.

Saya duduk dikursi paling depan. Kebiasaan orang indonesia, duduk paling belakang karena takut ditanya. Tapi saya santai saja, kalau ditanya tinggal dijawab.

Pemberian materi cukup lama sampai waktu zuhur tiba. Setelah itu break dan masuk kembali kemudian langsung ujian. Disesi ini saya keringet dingin, karena memang suasananya dingin. Kedinginan. ACnya kekencengan. Saya jadi sumeng. Kalau saya lebay mungkin saya ngomong keluar asap dari mulut, sayang saya ga lebay.

Sesi pertama saya gagal. Lalu coba lagi sesi kedua, gagal juga tapi nilai yg saya dapat bertambah. Sesi ketiga, saya coba lagi akhirnya lulus. Ini lulus, bukan lolos. Jawaban saya benar semua. Seneng sih, lega sedikit. Setidaknya hari ini tugas saya sudah selesai. Kami semua, peserta training foto bersama.

Dihari pertama ini saya pulang naik kereta lagi. Keluar gedung itu jam 16.00 WIB. Sampai Stasiun Sudirman sekitar pukul 16.20 WIB. Biasanya saya tunggu di peron 2 jurusan Manggarai. Saya tunggu-tunggu kereta yang bolak-balik lewat kok jurusan Bogor. Seperti inilah suasana peron 2 di Stasiun Sudirman.

Akhirnya karena terlalu lama, saya pindah ke peron 1, saya coba naik kereta jurusan Jatinegara. Saya kira kalau naik yang ke arah Jatinegara, keretanya langsung sampai. Ternyata, saya diajak muter-muter lagi. Stasiun Kampung Bandan, Tanah Abang dan Pasar Senen saya lewati. Saya nyesel sendiri. Tahu begitu saya tungguin saja sampai kereta jurusan Manggarai datang lagi.

Pukul 19.00 WIB itu saya baru sampai stasiun transit Jatinegara. Kereta jurusan Bekasi banyak, tapi sekalinya ada penuh dan sesak napas. Perjalanan pulang dari Centennial Tower Gatot Subroto sampai kerumah itu kurang lebih empat jam. Dihitung dari saya keluar gedung, dan sampai dirumah pukul 20.00 WIB.

Dihari kedua perjalanan saya. Saya lebih santai karena sudah paham titik-titik kendalanya. Yang sulit itu ujiannya. Materinya banyak, soalnya juga banyak. Tapi saya masih bisa lulus. Suasananya juga berbeda karena diawal pemberian materi saya perempuan sendiri. Ada rasa canggung juga. Kalau dinginnya ruangan mah masih sama. Sama-sama masih kedinginan.

Perjalanan ini mengajarkan saya, untuk lebih bersyukur. Dari mulai tempat kerja saya yang dekat dengan tempat tinggal. Tidak susah payah untuk dikunjungi. Tidak harus naik kereta. Berebutan dan desak-desakan. Pulang malam karena kelamaan dijalan. Mengajarkan saya untuk bisa beradaptasi dengan banyak orang. Memberikan saya pengalaman baru berkunjung ke gedung tinggi, dimana tidak semua orang berkesempatan sama seperti saya. Dan bagaimana caranya menyelesaikan masalah sendiri.

Gubuknya Gubuk Uangnya

Pagi ini saya awali dengan Bismillah. Semoga dilancarkan segala urusan hari ini. Dilancarkan perjalanan saya untuk liburan menikmati alam dan menikmati hal-hal yang tidak bisa saya lakukan di rumah sendiri.

Sebelum saya sampai di Kebumen, saya sudah request ke kakak sepupu saya. Memintanya untuk menemani saya mengisi waktu liburan saya di Kebumen. Salah satunya menyempatkan diri untuk berkunjung ke gubuk jamur dan melihat proses pembuatan gula jawa milik kakak sepupu saya.

Kakak sepupu saya ini mantan TKW Indonesia, yang diberangkatkan untuk kerja di Taiwan. Dikampung saya terbilang cukup banyak TKW, entah dikirim ke Singapura atau Taiwan. Kakak saya sudah bekerja menjadi TKW sejak tahun 2015. Dan sekarang dia pulang untuk usaha sendiri. Rumahnya cukup jauh dari rumah eyang saya. Dia tinggal bersama eyang saya. Rumahnya digunakan untuk usaha budidaya jamur dan usaha gula jawa nya.

Banyak yang saya tanyakan padanya, tentang bagaimana cara budidaya jamur tiram kesukaan saya itu. Yg saya tahu selama ini. Jamur itu tumbuh dari serbuk kayu yang dibungkus plastik hingga padat, dibolongi plastiknya lalu disemprot air, kemudian ditunggu sampai jamurnya tumbuh.

Ternyata bukan bgtu, kalau caranya memang seperti yang saya ketahui. Mungkin semua orang Indonesia punya usaha budidaya jamur ini. Mungkin. Jadi ketika saya berkunjung kesana. Ada banyak serbuk kayu didalam karung dan plastik pembungkus yang sudah diolah. Cara budidayanya cukup rumit, tapi hasilnya menguntungkan jika tidak gagal.

Langkah pertama, serbuk kayu di campur pupuk, kapur, dedeg dan air. Lima kandi (karung) serbuk kayu dicampur 1kg pupuk. Kemudian dibungkus plastik, isi hingga padat tidak boleh ada ruang sedikitpun karena bisa gagal panen.

Kemudian, serbuk kayu yang sudah dibungkus, direbus terlebih dahulu dalam tong minyak ukuran besar. Rebusnya bukan pakai kayu bakar. Pakai kompor mie ayam yang besar juga supaya ada perkiraan. Satu tong bisa diisi 200 bungkus serbuk kayu. Direbus selama 1 hari, atau sampai gas elpiji ukuran 3kg habis. Waktunya itu dari jam 06.00 – 22.00 WIB.

Setelah itu, angkat semua bungkus serbuk kayu yang sudah direbus kemudian ujungnya diberi bibit jamur.Bibit jamur ini rupanya jagung yang sudah berjamur juga.

Kemudian ditutup pakai koran. Dan baru boleh dibuka kalau serbuk kayu warnanya sudah putih seperti tempe.

Setelah satu bulan akan tumbuh jamurnya. Ukurannya kecil sekali. Kalau sudah tumbuh seperti ini baru boleh disemprot air dari jarak jauh. Dan suhu ruangan harus lembab. Tidak panas atau terlalu dingin. Makanya ruangan harus selalu basah dan becek.

Kalau berhasil, kita bisa panen jamur ini setiap hari selama satu hingga dua bulan masa panen. Jamurnya yang sudah siap panen wajib dan harus dipetik, kalau tidak jamur akan tumbuh semakin besar dan menjadi busuk. Biasanya konsumen komplain kalau ukuran jamurnya terlalu besar, karena jika ditimbang jumlahnya sedikit. Kira-kira seperti ini jamur yang boleh dipetik.

Cara panennya bukan dipotong tapi ditarik biasa hingga akarnya ikut tercabut. Satu bungkus bibit jamur ini tidak bisa sampai habis. Semakin hari, bungkus bibit jamur semakin menciut dan keriput. Dan tidak bisa produksi lagi.

Seperti itu lah kira2 prosesnya. Dan biasanya dijual Rp8.000 per kilogramnya ke tengkulak langsung. Kalau 2 rak bibit jamur bisa panen jamur sebesar kantong plastik ukuran jumbo. Dan bisa punya penghasilan Rp100.000 perhari kalau dibungkus Rp2.000 per ons ke pedangan sayur biasa atau langsung ke masyarakat. Sehari bisa panen dua kali, pagi dan sore. Kalau dijual di Bekasi bisa lebih banyak untungnya.

Ada juga usaha gula jawanya. Kebetulan dipekarangan rumah kakak saya ada banyak pohon kelapa. Jd sari bunga kelapa (air nira) bisa diambil sendiri. Panjat pohon sendiri. Satu hari bisa dapat 1 deregen, kalau pohon kelapa yg diambil niranya ada lima. Karena satu hari, biasanya 2 kali pengambilan pagi dan sore.

Kalau proses pembuatan gula jawa lebih gampang. Air nira yang sudah didapat. Direbus hingga menjadi karamel. Dan biasanya direbus pakai kayu bakar, supaya lebih wangi katanya.

Tapi prosesnya lumayan lama karena harus selalu diaduk. Kalau tidak bisa kering dan menggumpal di pinggir penggorengan nanti.

Disini dijual Rp10.000 per kilogramnya. Itu kalau dari pembuatnya langsung. Tapi kalau sudah masuk warung harganya tidak mungkin segitu.

Begitulah cerita liburan di kampung halaman ibu saya. Liburan sembari belajar lebih asyik daripada hanya sekedar pergi ke tempat wisata, menyenangkan mata setelahnya capek juga.

Sugeng Rawuh Ing Kebumen

Minggu ini saya akhiri dengan pergi berlibur ke kampung halaman. Di Kebumen, tempat lahir dan dibesarkannya ibu saya. Modal uang Rp150.000, saya bisa beli tiket kereta api pulang pergi, minggu lalu. Jurusan Pasar Senen – Kroya begitu juga sebaliknya.

Pada awalnya saya ragu. Karena saya penakut. Tidak pernah jalan-jalan jauh sendirian. Harus sama orang tua. Karena saya manja kalau pergi-pergi an naik transportasi umum. Banyak jajannya, dan bisa saja masuk angin akhirnya mabok darat. Kalau sudah bgtu, maunya di pukpuk ibu. Diolesi minyak angin, dan dipijat badannya.

Berkat tugas dadakan dikirim ke klien sendirian, akhirnya saya coba pulang kampung sendirian pula. Menurut saya, jalan-jalan sendiri itu asyik. Saya bisa melakukan apa saja. Suka-suka saya. Terserah saya. Dan lebih mawas diri. Saya jadi lebih banyak berinteraksi dengan orang lain. Banyak bertanya. Karena banyak yang saya tidak ketahui. Lebih banyak ilmu yang saya dapat. Misal dari hal kecil, waktu dikirim ke klien ga ngerti cara naik lift. Sekarang saya tahu, gimana caranya naik lift. Boss saya sering bilang “malu cukup sekali, tidak tahu cukup sekali, ditertawakan orang juga cukup sekali, tidak perlu diulang berkali-kali”.

Kalau saya punya budget lebih banyak dan waktu senggang. Saya akan menjadwalkan diri pergi ke tempat yang lebih jauh, dan lebih menarik. Sendirian.

Perjalanan dari Jakarta – Cilacap menggunakan kereta Serayu via Bandung memakan waktu 11 jam (seharusnya) ditambah keterlambatan kereta 30 menit. Jadi 11 jam 30 menit. Maklum tiket kereta murah. Kelas ekonomi. Tapi pemandangannya Masha Allah luar biasa indahnya. Saya bisa cuci mata. Liat yang ijo-ijo kalau kata orang bekasi. Bisa ya, manusia buat jalan kereta keliling pegunungan, diatas jurang. Se-ekstrem itu.

Sesampainya saya di Stasiun Kroya, banyak sekali tukang ojek. Tapi saya ga naik ojek, saya dijemput paman saya. Kereta sampai itu pukul 20.00 WIB. Sedangkan saya harus melanjutkan perjalanan ke Kebumen. Cilacap – Kebumen saya tempuh 30 menit. Naik motor jadul. Asyik banget kan. Malam, gelap, dingin, lewat sawah ga mendung ada bulan dan banyak bintang. Udara nya beda. Wangi rumput dan pohon. Bisa ngebut loh. Jalannya bagus. Ga macet pula. Kira-kira seperti ini lah pemandangannya kalau siang hari. Kalau malam hari gelap sekali, tidak ada penerangan jalan selain lampu motor orang lain yang lewat.

Ga seperti dibekasi, dipengkolan saja macet. Heran saya juga.

Akhirnya saya sampai di rumah eyang. Lewat sekolahan. Bangunannya dari jaman londo (Belanda). Ada 3 sekolahan. Ibu saya bilang, “kalau lewat sekolahan jangan pernah nengok ke belakang, jalan aja lurus kedepan, itu pesan eyang akung.” Kalimat itu selalu saya ingat sampai sekarang. Percaya ga percaya, didepan rumah eyang saya itu sekolahan angker katanya. Eyang uti saya memang bisa liat makhluk ghaib. Bahkan ular masuk kerumah saja, beliau tau. Baunya langu katanya.

Tapi saya ga mau mikirin itu. Daripada saya takut sendiri. Lebih baik saya bersih badan, lalu istirahat. Untuk persiapan besok, pergi ke gubuk jamur dan tempat pembuatan gula jawa milik kakak sepupu saya. Dan berlibur ke tempat wisata lainnya yang ada di Kebumen.