Apa yang terlintas di benak kita ketika mendengar kata “Senja”. Matahari terbenam? Sore menjelang malam? Suasana romantis? Atau langit memerah?
Senja itu indah. Ia selalu datang, kemudian pergi kembali. Begitu seterusnya.
Sabtu, 21 Juli 2018. Satu bulan yang lalu. Dimana saya pergi liburan mengunjungi Wonogiri. Kangen Wonogiri kalau kata anak perantauan.
Ada hal yang membuat saya ingin menuliskan cerita lagi, dimana ada nama daerah yang sering menjadi label mie ayam atau bakso didalamnya. Bukan tentang liburan, bukan juga info wisata yang saya kunjungi. Yang mungkin belum saya masukkan dalam cerita sebelumnya.
Ini tentang seseorang. Seseorang yang saya takuti karena kedisiplinannya terhadap waktu. Disiplin terhadap agama atau kebiasaan lainnya. Hidupnya terbiasa rapih. Baca buku itu wajib baginya. Dan yang pasti dia ceria, membuat setiap orang yang berada didekatnya merasa bahagia.
Kesempatan yang diberikan bulan lalu oleh perusahaan tempat saya bekerja, mengantarkan saya untuk mengunjunginya.
Bahagia sekali. Mendengar kemenakannya datang jauh-jauh dari Bekasi. Saya disambut dengan baik, layaknya Putri Raja. Sampai saya bingung harus bagaimana? Karena diperlakukan terlalu istimewa. Katanya, “Kan nggak sering-sering, nggak setiap hari juga. Jadi dinikmati saja. Nggak usah sungkan.”
Dia selalu bertanya kepada saya, “Nduk kapan kamu mulai kuliah?”
Dan disambung dengan wejangannya. Yang sampai sekarang masih selalu terngiyang.
Katanya lagi, “Kuliah itu tidak wajib, tapi penting. Walaupun tidak semua orang yang punya gelar Sarjana itu sukses. Tergantung dari manusianya juga, dia mau merubah nasibnya atau tidak. Apalagi kamu anak pertama. Contoh bagi adik-adikmu. Kesuksesanmu adalah bila adik-adikmu juga sukses.”
Di puncak Kabupaten Wonogiri itu. Di waktu senja kala itu. Dia katakan kepada saya. Saya yang sibuk foto selfie. Dan ternyata itu menjadi nasehat terakhir dari nya untuk saya.
Tiga hari yang lalu. Waktu Subuh. Saya mendapat kabar duka. Kematian. Kehilangan orang yang kenyataannya membuat air mata saya jatuh tiap kali mengingatnya. Kaget. Tidak sakit tidak apa. Tapi Tuhan ambil dia. Memintanya untuk pulang.
Merasa kehilangan pasti. Apalagi saya baru bertemu dengannya satu bulan lalu. Diantar dan ikut menunggu keberangkatan kereta di Stasiun Solobalapan, hingga larut malam. Memastikan bahwa saya aman berada di Solo dan Wonogiri sebelum dilepas ke Malang.
Kematian itu pasti datang. Tidak mungkin kembali. Hanya satu arah yaitu pergi. Kematian itu hilang karena kehabisan waktu. Sedang, senja hilang atas perintah waktu.
Sempat berpikir, malam tadi Bude saya masih tidur dirumah. Tapi hari ini dia tidur di kuburan. Sendirian.
tetap semangat gaess!