Awal pertemuan saya dengan keluarga Excellent bermula saat saya sedang keliru mencari tempat PKL. Ya, awalnya dari pilihan mencari PKL. Karena saya SMK ada masa dimana siswa perlu belajar dan praktek di lapangan. Kepanjangan PKL sendiri bukan “Pedagang Kaki Lima” tapi “Praktek Kerja Lapangan”.
Waktu itu seluruh murid dikelas saya diharuskan mencari tempat latihan kerja yang sesuai dengan jurusan. Berhubung saya ada di jurusan Teknik Komputer dan Jaringan, rasanya sangat sulit jika harus cari tempat PKL yang sesuai dengan jurusan yang saya pelajari. Apalagi saya perempuan, dikasih tugas banyak bukannya dikerja-in malah ditangis-in.
Seperti orang melamar pekerjaan, loncat dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Ada yang menerima dengan tugas sebagai tukang fotocopy. Ada juga yang menolak, karena alasan sekolah saya tidak kerjasama dengan perusahaan itu.
Masih bingung ingin cari dimana lagi dan yang seperti apalagi. Paling-paling terpaksa jadi tukang fotocopy sambil bikin kopi.
Mencari PKL masih berlanjut, sekolah pun masih terus disuruh masuk. Kebetulan waktu itu masuk jam pelajaran bu Nikmah. Guru produktif sekaligus kepala program yang katanya ‘galak’. Emang galak sih. Galak banget, kalau ketahuan ga ngumpulin tugas hehe?
Dia kasih nasehat pagi itu soal persiapan menjalankan praktek kerja, dia menyarankan kami semua (kelas TKJ A) ke salah satu perusahaan IT untuk coba PKL disana. Karena kakak kelas juga banyak yang PKL disana. Dengan syarat harus pintar, nurut, berani dan ga bikin malu. Bunda (panggilan kesayangan) bilang, “Coba kalian kesana, tempatnya pak Vavai nama PT nya Excellent. Dia itu orangnya tegas, kalau kalian ga nurut dimaki-maki nanti sama dia.”
Mendengar kalimat itu, semua murid di kelas saya jadi merasa takut. Dari 32 siswa yang terdiri dari 22 laki-laki dan 10 perempuan, belum ada yang berani untuk pergi melamar PKL ke Excellent.
Dua hari setelah itu, akhirnya salah satu teman saya mengajak untuk coba tanya-tanya soal PKL ke Excellent. Nama dan logo Excellent sendiri ternyata sudah sering saya lihat. Di tas kakak kelas saya itu. Namanya Trisha. Kalau berangkat sekolah sering kali dia didepan saya. Jalan dari parkiran motor ke sekolah. Tas yang ia bawa untuk sekolah disponsori oleh Excellent. Mantan anak PKL Excellent ternyata.
Total pelamar saat itu masih tiga. Mega, Erni dan saya. Singkat cerita, kami bertiga konsultasi ke Bunda. Bunda bilang email langsung ke pak Vavai. Karena Mega sering dijadikan bahan percobaan. Akhirnya si Mega yang disuruh email *yahketahuandeh. Pak Vavai bilang hari kamis dia ada di kantor. Padahal di hari kamis kami bertiga ada pengarahan di sekolah. Izin sekolah, pergi menemui pak Vavai.
Wah bakal ketemu big boss nih. Yang saya bayangkan waktu : Big. Yang badannya besar, kulitnya hitam, suaranya berat dan tatapannya seperti harimau mau menerkam. Sama seperti yang dibilang Bunda, “salah-salah kamu bakal dihina”.
Setelah bertemu ternyata jauh berbeda. Ga seram. Ngomongnya lembut. Ga ada niat menghina. Paling suka keceplosan ngatain hehehe?. Sempat berfikir boss nya ‘China’. Ternyata nggak. Dia orang tambun. Makin tercengang saya.
Pak Vavai minta dua anak PKL, yang datang tiga (perintah Bunda). Beliau disuruh pilih dua diantara kami bertiga. Karena tidak tega, akhirnya dia terima kami semua.
Selama tiga bulan, PKL saya lancar jaya. Tidak ada dihina, tidak ada dimaki. Kami bertiga merasa sangat disayangi. Setiap Jum’at selepas makan siang bersama, tidak pernah lepas nasehat dari pak Boss (pak Vavai). Perkataan Bunda hanya menguji soal keberanian kami. Ini foto di hari terakhir saya dan teman saya PKL.
Yang baju merah itu namanya Bu Nikmah, kalau di sebelah kanannya bu Nikmah itu saya. Jangan terbalik. Disini masih unyu-unyu muka nya. Diambil dari 2 tahun lalu.
Ada juga tulisan pak Boss di Facebook yang saya screenshoot, tentang kesan-kesan beliau selama kami PKL diperusahaannya.
Liburan saya selanjutnya adalah pergi ke Kota Batu. Semenjak saya tahu kalau jalan-jalan sendiri itu asyik, Kota Batu menjadi pilihan daerah yang pasti akan saya kunjungi.
Dikesempatan liburan kali ini, saya manfaatkan untuk mengunjungi Kota Batu. Awalnya perjalanan saya ke Batu tidak diizinkan oleh ibu. Karena saya perempuan, pergi sendirian, dan jalan-jalan jauh hingga ke pulau Jawa bagian Timur. Tidak ada sanak saudara atau orang yang dikenal disana. Membuat ibu saya takut, anak perempuannya luntang lantung disana hehehe?
Atau mungkin ibu saya membayangkan bahwa Batu adalah gunung yang tinggi sekali, yang banyak jurangnya dan hutan-hutan. Saya jelaskan ke ibu saya, bahwa disana ada banyak wisata, dan tidak perlu khawatir karena saya sudah pesan hotel untuk beristirahat. Akhirnya ibu saya “mengiyakan”.
Perjalanan saya mulai dari Stasiun Solobalapan menuju Stasiun Malang (Kota Baru). Berangkat pukul 21.49 WIB sampai Malang pukul 03.45 WIB.
Banyak yang tanya ke saya, “Ngapain liburan ke Malang dan Batu sendirian? Dihari-hari biasa lagi. Bukannya kerja?”
Saya jawab, “Ada tugas kantor, disuruh pak Boss jauh-jauh ke Malang untuk metik apel.”
Ini istimewanya tempat saya bekerja. Karyawannya diizinkan jalan-jalan seminggu untuk refresh otak bebas dari pekerjaan. Diongkosi pula.
Wisata Petik Apel
Kalau jalan-jalan sendiri ke daerah Batu atau Malang dan sekitarnya, wisata yang cocok dan murah ya petik apel. Kalau ke Bromo mesti sewa travel, kalau sendirian biayanya bisa bikin kesel. Menghindari saya kesel, akhirnya petik apel.
Tempat wisata petik apel yang saya kunjungi, ada di daerah selecta. Arah ke tempat pemandian air panas Cangar. Yang disetiap sisi jalan, pasti banyak yang jual apel, atau kebun apel untuk wisata, dan rumah penduduk yang masing-masing punya pohon apel. Atau lebih tepatnya masuk ke Desa Punten.
Ada dua jenis apel yang ditanam dan boleh dipetik. Ada apel merah dan apel manalagi. Apel yang kulitnya ada warna merah, rasanya asam manis.
Kalau apel yang bewarna putih kekuning-kuningan itu sudah pasti rasanya manis walaupun ukurannya kecil. Tapi kalau masih pentil tetap asam ya gaes…
Untuk biayanya, ada beberapa rincian. Biaya masuk Rp25.000 per orang. Makan sepuasnya dan petik apel sepuasnya. Kalau sudah, coba keluar kebun apel dan timbang berat apel yang sudah kalian petik. Kemudian silakan bayar Rp30.000 per kg?
Kok mahal sih?
Iya jelas mahal. Karena kalau petik apel sendiri itu sensasinya berbeda. Suasana kebun yang adem dan pemandangan hamparan pohon apel. Bisa lari kesana kemari terserah mau petik apel yang mana. Misalnya juga kejedot pohon apel yang pendek pohonnya, rimbun daunnya dan lebat buahnya itu. Kalau beli yang sudah dijajakan dijalan kan tidak bisa merasakan kejadian kejedot pohon. Pokoknya dibuat geregetan ingin petik apel sebanyak-banyaknya. Tidak usah khawatir uangnya habis. Ada solusinya supaya tetap bisa bawa pulang apel. Disana banyak yang jual keripik apel. Beli saja keripiknya, rasanya pun sama. Harganya juga lebih murah.
Museum Angkut
Sudah puas dan tahu bentuk pohon apel serta sensasi petik apel sendiri. Saya lanjutkan perjalanan ke Museum Angkut yang hits dikalangan remaja yang suka jalan-jalan berburu foto untuk diupload ke instagram.
Disana ada apa sih?
Disana banyak kendaraan antik. Kalau kalian suka automotif ya pasti senang berlama-lama disana. Kalau seperti saya yang hanya ingin tahu, dan meninggalkan jejak kaki disana pasti bosan.
Museumnya bagus, penataannya keren sekali. Ada guidenya juga disetiap stand, jadi bisa bantu kita yang jalan-jalan sendirian untuk ambil gambar.
Untuk biaya masuknya berapa? Karena saya datang di hari biasa jadi ada potongan harga, dari yang seharusnya Rp100.000 menjadi Rp70.000 saja. Dibuka mulai dari jam 12.00 WIB hingga 17.00 WIB saja. Kalau berkunjung ke Museum Angkut jangan lupa foto di Gangster Town ya… Biar kekinian.
Batu Night Spectacular
Sebelum berangkat liburan ke Malang. Pak Boss selalu menyarankan saya untuk datang ke BNS (Batu Night Spectacular). Kebetulan sekali hotel saya letaknya ada disamping BNS ini. Jadi sehabis cari makan malam bisa mampir sebentar. Kalau siang, tampilannya seperti pasar malam. Ketika malam, bentuk dan tampilannya berubah seperti pasar malam juga tapi kelas elit. Dufan KW 1 lah. Tiket reguler masuknya murah, hanya Rp30.000 untuk tiket terusan Rp99.000 untuk beberapa permainan tanpa beli tiket lagi. Jam operasional dibuka dari 15.00 WIB – 24.00 WIB.
Makan Es Krim Mahal
Kalau ke Malang jangan lupa juga mampir ke Toko Oen. Toko ini bernuansa tempo dulu. Daftar menu pakai bahasa Belanda. Saat ini Toko Oen hanya tersedia di dua tempat saja, Semarang dan Malang. Awalnya toko ini hanya menjual beberapa kue dan es krim. Saat ini mereka juga menjual masakan Belanda, Indonesia dan Cina.
Waktu saya berkunjung kesana, saya coba lihat beberapa menu makanan. Harganya di atas Rp10.000 semua. Karena Toko Oen terkenal dengan es krimnya, akhirnya saya pesan es krim seharga Rp25.000 dan hotdog seharga Rp35.000.
Sudah menunggu cukup lama. Ternyata hotdog yang saya pesan tidak ada. Akhirnya hanya es krim saja yang saya pesan saat itu. Tetapi ekspetasi dan realitanya berbeda jauh.
Ini ekspetasi saya, es krim yang saya bayangkan yang akan diantar ke meja saya.
Realitanya, hanya semangkuk kecil es krim rasa vanila yang diantar ke meja saya.
Saya terus tertawa sendirian. Sambil geleng-geleng kepala. Datang penuh khayalan bisa menikmati es krim selucu dan sebanyak yang ada di google. Yang sampai ke meja saya ternyata es krim biasa. Ini menjadi es krim termahal yang pernah saya beli. Rasa susunya terasa sekali. Apalagi menikmatinya satu ruangan bersama dengan sekumpulan wisatawan dari manca negara. Itu yang buat es krim ini terasa beda dari yang lain.
Kampung Tridi
Tak mau berlama-lama di Toko Oen. Akhirnya saya pulang ke Kampung Tridi. Pemukiman warga yang dijadikan tempat wisata itu. Yang isinya lukisan-lukisan ditiap dinding dan atap rumah warga.
Biaya masuknya Rp3.000. Kalau hanya sekedar mampir dan ingin tahu bentuknya tidak masalah merogoh kocek segitu.
Dari Toko Oen ke Kampung Tridi saya naik ojek online. Karena saya bawa koper, si driver tanya asal saya dari daerah mana.
Saya bilang, saya dari Bekasi. Si driver tanya lagi, “Mbak nya jauh-jauh dari Bekasi ke Malang cuma mau ke Kampung Tridi?”
Dalam hati “Haha يكل bang”
Dan dari sekian banyak tempat wisata yang saya kunjungi dalam seminggu ini hanya Batu dan Malang yang bisa buat saya jadi galau serta harus membayar biaya pembelajaran yang mahal. Diawal perjalanan saya ke Kota Batu, saya harus mengeluarkan uang sebesar Rp300.000 hanya untuk membayar ojek dari Stasiun Malang ke hotel yang kebetulan letaknya ada di Kota Batu. Ini diluar dari yang saya bayangkan. Dari kejadian itu, saya sarankan untuk kalian yang bepergian sendirian seperti saya untuk lebih baik naik kendaraan lain daripada naik ojek.
Dan yang terakhir ini sih galau karena baper sendirian. Jadi waktu masih di Kota Batu. Malam hari di hotel sendirian, terus handphone sepi gitu nggak ada yang chat. Sinyal suka hilang entah kemana. Jadi nangis deh karena ngerasa sendirian?ditambah udara yang sangat-sangat dingin jadi malas keluar, padahal tempat wisata dekat dengan hotel. Sekian cerita dan curhat saya, terimakasih?
Senin, 23 Juli 2018. Menjadi hari terakhir liburan saya di Wonogiri. Saya sudah planing bahwa saya akan pergi lebih awal menuju Solo. Karena perjalanan dari Wonogiri ke Solo jika menggunakan kendaraan umum memakan waktu banyak sekali.
Awalnya tujuan saya mengunjungi Wonogiri, karena memang ingin wisata ke Waduk Gajah Mungkur yang terkenal itu. Tapi kan waktu awal kedatangan saya, malah digunakan untuk mencari ilmu-ilmu usaha. Jadi untuk wisata kesana saya rasa tidak mungkin.
Dan saya juga tidak mengira bahwa kakak sepupu saya itu akan mengantar saya sampai dengan Stasiun Solobalapan. Dia bilang sepulangnya dari toko, akan mengantar saya ke Solo mampir dulu ke Waduk Gajah Mungkur. Lho… ini rejeki namanya. Sudah pernah di list, sudah dicoret, kemudian ditulis ulang.
Sekitar jam 14.00 WIB baru berangkat menuju Solo. Sebelumnya saya gunakan waktu untuk siap-siap packing semua barang, sambil ngemong ponakan dan tulis cerita.
Waduk Gajah Mungkur
Perjalanan dari Jatisrono menuju Waduk Gajah Mungkur kurang lebih 45 menit. Karena memang letaknya yang ada ditengah-tengah pegunungan. Jadi medan yang dilalui pun naik turun gunung. Tidak ada kendaraan umum untuk sampai ke Waduk Gajah Mungkur. Kalau nggak naik motor ya naik mobil pribadi.
Untuk harga tiket masuknya Rp10.000 per orang. Sama seperti tempat wisata lainnya, disetiap sisi jalan banyak warung dibuka. Tapi rata-rata disini jual ikan asin, bukan jual popmie atau kopi.
Waktu berkunjung kesana saya kira bentuk waduk adalah bendungan yang sangat-sangat besar, airnya hijau atau coklat pekat sama seperti bendungan-bendungan di Bekasi. Ternyata tidak, rupanya seperti laut. Banyak perahu menepi. Airnya biru, bergelombang tertiup angin.
Sayangnya waktu saya kesini, semua wahana sudah tutup. Jadi nggak bisa foto bersama gajah. Adanya ketek (monyet). Dan harus naik lagi ke atas.
Jadi saya berkunjung kesini dengan alasan “intinya saya pernah kesini, sudah tahu bentuknya”. Ini karena gagal wisata ke Waduk Gajah Mungkur waktu kunjungan ke Solo dua minggu lalu. Jadi saya mendahului rekan-rekan kerja saya yang mungkin belum pernah kesini. Hehe…
Mie Ayam Asli Wonogiri
Ibu saya bilang, selama di Wonogiri jangan lupa makan bakso dan mie ayam khas daerah ini. Di cerita sebelumnya saya sudah coba bakso asli sini. Dan memang rasanya beda. Sekarang di ajak makan mie ayam. Mie ayam disini jauh beda dari yang ada di Bekasi. Mie nya lebih tebal, daging ayamnya lebih coklat, pakai acar, dan isinya lebih banyak. Untuk harga sama hanya Rp8.000 belum termasuk minum?
Kalau ke Waduk Gajah Mungkur jangan lupa mampir makan Mie Ayam Pak Tukang disamping Hotel Dafian dekat plang daerah Wonokerto. Mie ayamnya enak dan selalu ramai.
Jalan-jalan ke Mall
Sebagai bonus kunjungan ke Wonogiri, sorenya saya pergi ke Mall Solo Paragon sambil menunggu waktu keberangkatan kereta dari Solobalapan – Malang.
Kebiasaan bangun pagi, mungkin biasa dilakukan di tiap-tiap daerah baik di kampung ataupun di kota. Saat ini saya ada di kampung. Bangun jam 04.00 WIB itu bisa dibilang telat bangun.
Kalau di Bekasi biasanya berangkat ke pasar itu jam 06.00 atau jam 07.00 tapi disini jam segitu para pedagang sudah mulai beberes dan pulang kerumah.
Aktivitas pasar dimulai jam 02.00 pagi. Apalagi tidak setiap hari pasar buka. Dihari-hari tertentu saja. Kalau disini namanya Wage-an. Pasarnya buka dihari Wage saja dalam kalender Jawa. Karena telat melihat aktivitas pasar, akhirnya saya diajak ke peternakan batako milik kakak sepupu saya.
Dicerita sebelumnya saya pernah menjelaskan tentang budidaya jamur tiram milik kakak sepupu saya juga. Kali ini saya akan menceritakan bagaimana proses pembuatan batako dan gorong-gorong (bis). Ya, kali ini cerita saya tentang bahan bangunan.
KENAPA USAHA BATAKO?
Usaha ini dimulai ketika kakak sepupu saya yang dulunya bekerja sebagai pegawai bank. Bosan dengan posisinya sebagai manager yang hanya diam, dan kerja sambil duduk seharian. Akhirnya dia resign. Resign, dengan bekal ilmu membuat bahan bangunan. Berkat tanya menanya juga pada temannya. Kini dia melakoni usahanya yang sudah berjalan 1,5 tahun. Awalnya dia bingung ingin usaha apa? Karena sudah punya agen sembako. Akhirnya, dia memutuskan untuk usaha yang tidak ada masa expired nya.
Tempat usahanya ada di daerah Jatipurno. Didaerah sana banyak usaha-usaha pembuatan batu bata, batako, dan gorong-gorong (bis). Cengkeh pun juga ada hanya saja harus naik ke puncak gunung sana.
PEMBUATAN BATAKO
Saya coba tanya-tanya ke karyawan kakak saya itu. Untuk pembuatan batako, dari proses awal hingga siap dijual.
Ada tiga pekerja tetap pembuat batako disini. Satu orang dalam 2 jam bisa menghasilkan 70 batako. Dengan takaran :
Pasir Tras halus lima angkong,
‌1 Sak semen seberat 40kg,
Dan air secukupnya tidak sampai encer, hanya supaya tercampur saja semua bahannya. Kira-kira 3 kali disiram ukuran ember cat besar.
Kemudian bahan-bahan yang sudah dicampur, diaduk merata. Pasir-pasir yang digunakan, sebelumnya sudah disaring. Tujuannya supaya tidak ada batu kerikil yang ikut tercampur.
Selanjutnya pasir yang sudah diaduk, dicetak satu persatu, diisi hingga padat. Sambil dipukul-pukul. Seperti yang ada dalam video dibawah ini.
Jika sudah terbentuk, didiamkan selama 3 hari. Dan baru bisa dijual. Harga persatu batako dijual Rp3.200. Kecuali jika si pembeli, angkut lebih dari 1000 batako. Ada diskon Rp200 perbatakonya. Untuk pekerja biasanya diberi upah 500 per batako.
Pekerja disini rata-rata adalah mereka yang bingung ingin kerja apa. Jadi selain untuk mencari nafkah keluarga kakak sepupu saya. Sebenarnya usaha ini didirikan juga untuk membuka lapangan pekerjaan untuk mereka yang tidak punya pekerjaan tetap atau tidak punya lahan.
Jika waktu panen tiba, mereka yang biasa bekerja membuat batako pergi ke sawah tetangga untuk bantu-bantu panen padi. Kalau masuk musim tanam padi hingga padi menguning, mereka kembali membuat batako. Dan biasanya anak-anak sekolah SMA pun, ikut membuat batako sebagai pencari uang jajan tambahan. Di hari libur, mereka datang ramai-ramai membuat batako. Mereka catat sendiri, berapa batako yang mereka buat. Dan upahnya bisa dicairkan kapanpun. Misalnya mereka mau beli handphone, mereka akan rajin datang membuat batako dan sesekali bilang ke Boss nya yang tak lain kakak sepupu saya itu. Kredit handphone dibayar pakai batako. Hehehe…
Keuntungan bersih yang didapat kakak saya, per 1000 batako adalah Rp800.000. Dan usaha bahan bangunan disini dibilang sangat menguntungkan, apalagi musim-musim lebaran. Mereka akan merenovasi rumahnya. Makanya nggak heran rumah-rumah di Jawa itu luas dan bagus-bagus.
LIMBAH BATAKO
Lalu kalau batako yang gagal dijual karena cacat dikemanakan? Dibuang begitu saja?
Nggak dong. Batako yang gagal dijual, atau bentuknya cacat. Bisa digunakan kembali untuk pembuatan gorong-gorong.
Caranya gimana?
Caranya batako yang gagal dijual, dihancurkan kembali. Maka akan menjadi butiran-butiran pasir. Kemudian dicampurkan bersama dengan kerikil, pasir tras, dan semen. Kemudian diberi air hingga encer.
Ada alat cetak khususnya juga. Dan ada masing-masing ukurannya. Sebelum dicetak, alat pencetak gorong-gorong diberi oli terlebih dahulu. Kemudian bawahnya diberi plastik. Tujuannya supaya gorong-gorong yang basah tidak menyentuh tanah. Kalau menyentuh tanah, jika sudah kering pasti susah dicabutnya. Makanya harus dilapisi plastik.
Kemudian bahan yang sudah tercampur, dimasukkan kedalam alat pencetak. Sama seperti batako, didiamkan selama 3 hari. Harga jual per gorong-gorong ukuran 150 cm adalah Rp150.000. Dengan upah pekerja Rp15.000. Ukuran 20 cm, diberi upah Rp5.000.
Seperti ini kira-kira proses penaikan gorong-gorong ke armada, kalau ada yang beli. Mesti gayeng (pasti senang). Karena berat, jadi harus ramai-ramai gotong masuk ke mobil bak sambil bersorak.
Itulah ilmu yang saya dapat dihari kedua perjalanan liburan saya di Jatisrono. Ditutup dengan makan bakso asli Wonogiri.
Dan mengunjungi wisata Hutan Pinus, dipuncak Seper. Masuknya gratis, karena sudah tutup, terlalu kesorean.
Serta makan malam rumahan, ayam panggang + sayur tempe mlanding (tempe dari lamtoro) sing wuenak, dan ga ada di Bekasi.
Setelah sampai Bandara Adi Soemarmo, hati saya rasanya senang sekali. Dulu saya mengkhayalkan saja rasanya naik pesawat. Tidak kepikiran diusia saya yang masih belasan ini, saya sudah bisa naik pesawat sendiri. Tidak bersama orang tua, atau ditemani keluarga. Sewaktu kecil jika pesawat lewat, saya teriak “Pesawat minta duit!!!”. Sekarang saya tahu, kalau pesawat bawa orang-orang ber-duit.” Iya dong berduit, kan tiketnya saja mahal.
Sudah cukup cerita soal pesawat. Saya lanjutkan perjalanan menuju Jatisrono. Saya kesana kemari menanyakan, “Adakah DAMRI yang bisa saya tumpangi untuk sampai di Terminal Tirtonadi?”. Mereka bilang, “Ada! Silakan tunggu didepan sana. Lah itu mobilnya sudah ada.” (sambil menunjuk mobil travel yang supirnya sedang sibuk memasukan barang bawaan penumpang masuk bagasi)
Saya hampiri mobil itu, pak supir tanya “Mbaknya mau kemana?”.
Saya bilang “Terminal Tirtonadi pak.”
Pak supir bilang lagi, “Oh bisa mbak, kopernya ta’ masukin bagasi. Mbaknya duduk didepan dekat supir.”
Ongkos nya murah. Rp25.000 saja. Tapi lamanya perjalanan itu satu jam dari bandara ke terminal.
Sampai di terminal, sudah banyak kuli panggul koper-koper penumpang. Saya berasa jadi seleb, dikejar-kejar gitu.
Katanya, “Sama saya saja mbak, sama saya. Saya antar sampai depan rumah.”
Saya ingin jawab tuh, “Jangan Mas, saya sudah punya patjar. Nanti cemburu.” Yeeee… wkwkwk
Terminalnya luas sekali, bikin bingung. Untunglah saya ada barengannya. Bis yang saya tumpangi sampai ke Jatisrono adalah bis jurusan Purwantoro-Wonogiri-Solo. Bisnya semacam metromini gitu kalau di Jakarta.
Solo – Jatisrono itu kalau pakai kendaraan pribadi, hanya 1,5 jam. Karena ini angkutan umum. Tiap menit berhenti cari penumpang, Solo – Jatisrono itu bisa ditempuh 3 jam perjalanan. Dua kali lipatnya. Kalau kalian mabuk darat, jangan lupa sedia kantong plastik, selain bisnya tidak AC jalannya juga berliku. Karena memang daerah gunung.
Selama diperjalanan, saya menikmati tiap pemandangan yang ada disisi kanan dan kiri jalan. Jurang dan sawah berundak. Tarif menggunakan bis ini adalah Rp20.000.
Jika minggu-minggu lalu saya sampai di dekat perbatasan Pacitan. Sekarang saya melakukan perjalanan lewat jalur menuju Ponorogo dan Surabaya. Sayangnya saya tidak ada jadwal menuju kesana.
Sekitar jam 18.00 WIB saya sampai di Terminal Jatisrono. Tidak ada bis yang singgah di sana. Dan rupanya saya sudah dijemput kakak sepupu saya. Rumahnya ada dibelakang terminal. Jadi dekat sekali. Makanya saya tidak dijemput ke Solo. Melainkan harus jalan sendiri ke sampai ke Terminal Jatisrono.
Liburan saya akan dimulai besok. Ingin tahu saya melakukan apa saja di Kabupaten Wonogiri? Lihat postingan saya selanjutnya ya…
Sabtu, 21 Juli 2018. Perjalanan liburan saya dimulai. Berkat kesempatan yang di berikan pak Boss kepada saya dan rekan-rekan kerja di PT Excellent Infotama Kreasindo yang bersedia menghandle pekerjaan saya, akhirnya saya bisa pergi jalan-jalan jauh dari planet Bekasi.
Keberangkatan saya kali ini berbeda, biasanya naik transportasi darat. Dikesempatan kali ini saya putuskan untuk naik transportasi udara. Pesawat terbang. Yang saya pesan tiketnya tiga minggu sebelum tanggal liburan dimulai.
Mungkin bagi sebagian orang yang sering bepergian jauh, naik pesawat adalah hal yang biasa. Tapi tidak bagi saya. Ini adalah pertama kalinya saya terbang. Saat ini saya masih menjadi burung dara, yang suka loncat dari gedung satu ke gedung yang lain. Makanya naik pesawat. Belajar terbang, sebelum menjadi Rajawali. Terbang ke seluruh penjuru dunia. Iyaiyaiya….
Untuk sampai di Bandara Adi Soemarmo (Solo) saya menggunakan maskapai Lion Air. Singa terbang. Sempat mikir aneh-aneh. Takut pesawatnya jatuh lah, ini lah, itu lah. Pokoknya karena ditakut-takutin juga hampir dicancel. Nggak jadi naik pesawat. Tapi saya lawan kalimat “yang katanya, kalau naik Lion Air nanti gini loh” dengan memberanikan diri, “Yo wis mangkat sik, nek montor mabur mu ujug-ujug mudun, tibo neng laut yo wis… wasallam”.
Dengan semangat ’45, berangkat dari rumah jam 05.00 WIB ke Terminal Kayuringin. Kemudian naik DAMRI harga tiket Rp45.000, yang siap antar ke tiap-tiap terminal yang ada di bandara Soekarno-Hatta. Sampai di bandara sekitar jam 07.30 WIB. Dan saya kepagian. Padahal take off jam 11.45 WIB. Awalnya berangkat terlalu pagi untuk menghindari macet, ternyata jalan menuju bandara sepi syekali. Jadi tidak apa-apa sampai lebih pagi, lagi pula saya kan belum tahu cara naik pesawat. Jadi waktu menunggu sampai take off, yang masih tersisa banyak bisa digunakan untuk berbingung-bingung ria mencari tempat cetak tiket dan check in bagasi.
Waktu itu karena memang belum tahu semuanya, pas baru turun dari bis sambil bawa koper, bingung mau ngapain. Ada mesin pembelian tiket. Karena takut salah akhirnya tanya ke satpam. Lalu saya diarahkan ke tempat mesin pembelian tiket itu. Saya tanya ke petugas yang ada disitu. Dia bilang kalau sudah ada boarding pass bisa langsung masuk pintu check in.
Akhirnya saya coba masuk, dan menunjukkan boarding pass yang ada di handphone saya. Saya pikir boarding pass wajib di print, sama seperti naik kereta. Ternyata tidak, cukup tunjukkan saja boarding pass yang sudah dikirimkan via email.
Kemudian melakukan pemeriksaan barang. Barang yang saya bawa untuk liburan adalah satu koper dan satu tas ransel. Isi koper hanya pakaian saja. Sedangkan tas ransel berisi laptop, beberapa perlengkapan mandi, mangga, dan kue bolu. Kalau saya lewat metal detektor. Koper saya lolos, saya juga lolos. Saya lihat tas ransel saya itu tidak kunjung keluar dari mesin pemeriksaan barang. Saya khawatir mangga dan kue bolu itu yg jadi penghambat. Beberapa petugas melihat ke arah saya. Saya juga bingung. Saya mendengar salah satu dari mereka bilang, “emang boleh bawa gituan?”. Saya rasa itu lagi ngomongin isi tas saya. Hehe… Kan nggak lucu diamankan gara-gara bawa mangga sama kue bolu. Tapi saya cuek saja, dan nggak lama kemudian tas ransel saya lolos. Yeayyyy….
Sudah lolos, saya bingung lagi harus kemana. Saya tanya ke petugas berbaju putih itu yang sedari tadi teriak, “Check in bagasi atau tidak check in bagasi tujuan Solo bisa ke loket 14.” Saya cari saja loket yang kosong. Dan beruntung, atau mungkin si petugas perempuan itu juga tahu saya baru pertama kali naik pesawat. Saya serahkan boarding pass dihandphone saya dan kartu identitas (KTP). Jantung saya dag-dig-dug, saat koper mulai ditimbang. Karena jatah bagasi saya hanya 20kg. Sebelum ke bandara, sudah saya timbang dirumah pakai timbangan badan. Beratnya itu 10kg. Sampai di bandara, ternyata beratnya 9.8kg. Bersyukur saya nggak perlu tambah biaya untuk bagasi saja.
Tentengan saya berkurang satu. Take off juga masih lama. Perut saya juga sudah bunyi. Saya beli roti saja. Harga Rp37.000 include minum. Habis makan rasanya nyesel gitu. Tapi gapapa, besok-besok sangu sego.
Berjam-jam saya tunggu sampai diperolehkan masuk pesawat. Dua kali bolak-balik kamar mandi juga karena dingin.
Sekitar jam 11.30 WIB diizinkan masuk pesawat.
Biasa saja. Tempat duduknya lebih sempit dari kereta. Dibagi jadi dua sisi, dan masing-masing tiga tempat duduk. Posisi saya ada di 17F. Dekat sayap. Tapi karena ada ibu-ibu salah kursi. Jadi saya duduk di 17A.
Sebelum pramugari memperagakan cara menggunakan alat keselamatan, saya sudah lebih dulu pakai sabuk pengaman. Waktu pramugari memperagakan fungsi masker oksigen, disitu ada penjelasan bahwa masker tersebut akan turun secara otomatis dari kabin pesawat saat tekanan udara di kabin berkurang. Baru mendengar itu saja, dada saya jadi terasa sesak. Mungkin karena nervous juga mendengar mesin pesawat mulai terdengar kencang.
Pesawat siap lepas landas. Kecepatan bertambah. Saya keringat dingin. Belum sampai diatas awan. Telinga saya rasanya budeg. Salahnya saya tidak pakai earphone atau headset. Sedangkan saya lihat disebelah kanan saya, mereka semua pakai alat penutup telinga.
Pesawat mulai menembus awan. Kali ini saya benar-benar merasakan guncangannya. Dan bukan katanya-katanya lagi. “Katanya kalau naik pesawat lewat awan itu gujlak-gujlak kayak naik bis lewat bebatuan”. Dan saya bisa merasakannya sendiri. Sempat khawatir, dan tidak bisa tenang. Guncangannya makin terasa. Padahal itu kondisi normal, berarti pesawat aman tidak ada celah atau lubang di badan pesawat.
Dan baru kali ini melihat pemandangan yang berbeda. Oh seperti ini pemandangan diatas awan. Terasa sangat lama, rasanya pesawat yang saya tumpangi diam disitu saja tidak melaju kedepan. Baru tidur 15 menit. Sudah ada pengumuman bahwa pesawat sebentar lagi mendarat di bandara tujuan. Cepat sekali. Telinga saya terasa sakit. Saya ceritakan kepada Boss saya dan ibu saya. Boss saya bilang, itu normal. Ibu saya bilang, sebentar lagi rasa sakitnya juga hilang.
Yang terakhir, pengambilan bagasi. Diatas sudah ada papan penunjuk arah. Pengambilan bagasi ada dibawah. Semua orang sudah mengantre. Tak lama koper saya keluar. Selesai sudah urusan saya di bandara. Saya sudah bisa keluar dengan perasaan bangga pada diri sendiri.
Perjalanan saya belum berhenti begitu saja di Bandara Adi Soemarmo. Saya masih harus melanjutkan perjalanan ke Jatisrono, Kabupaten Wonogiri. Dan jaraknya itu lumayan bikin pusing kepala.
Seperti itulah cerita saya pertama kalinya naik pesawat. Kalau ditanya, “Mau nggak naik pesawat lagi?”. Jawabannya adalah, “Mau! Sekalian ajak adik-adik saya supaya tahu rasanya terbang diatas awan.”
Hari ini, pukul 01.30 WIB. Masih gelap. Saya pun sebenarnya masih terlelap. Bulan juga masih tinggi. Tapi sudah pagi. Ada yang ketuk pintu kamar. Itu ibu saya. Baru pulang dari rumah ibunya. Di Kebumen. Tempat tinggal nenek saya. Dan pulang bersama adiknya. Adiknya yang minggu lalu saya ceritakan kedatangannya.
Dari Kebumen ke Bekasi bawa dua koper. Padahal waktu berangkat kesana, hanya bawa satu koper. Ya itulah anak rantau yang rindu mamaknya dikampung. Datang bawa keluhan, pulang bawa makanan dan koper tambahan. Asik sih. Kulkas jadi ramai. Saya pun senang. Karena perut tidak pernah tidak kenyang.
Seperti biasa, kami ngariung. Kumpul dulu. Sambil makan mie ayam yang keasinan itu. Sekalian sahur. Bercerita bagaimana liburan mereka disana.
Tepat hari Sabtu. Ini adalah hari terakhir adiknya ibu saya ada di Indonesia. Sebelum pulang, adiknya yang biasa saya panggil bulek itu meminta saya untuk menemani anaknya pergi keluar jalan-jalan. Sekitaran planet Bekasi. Boleh Jakarta. Boleh juga Bogor, tapi kejauhan. Sudah direncanakan, jam 08.00 WIB berangkat. Ternyata jam karet. Melar dan mengulur waktu sampai akhirnya waktu menunjukkan pukul 13.00 WIB. Ingin jalan ke Jakarta, rasanya malas sekali. Panas. Apalagi anaknya biasa kedinginan. Terkena sinar matahari dia lenjeh. Cari shadow spot.
Bulek saya itu ada benar nya juga sih. Menguji saya. Test dadakan. Semacam kuis-kuis di perkuliahan. Tiba-tiba ujian.
Bulek saya bilang “kamu jalan-jalan berdua aja ya, belajar ngomong bahasa Inggris sama Kao Hsin, jangan minta temenin Bulek terus nanti kamu ga bisa-bisa ngomong bahasa asing”
Kalau saya sih “yes aja”. Kalau ga bisa bahasa Inggris, masih ada bahasa isyarat.
Keputusannya, jadi jalan-jalan tapi hanya “berdua” saja sama sepupu saya itu. Jalan-jalannya ke Mall terdekat. Itu request dia. Dia bilang ke ibunya, minta diajak main ke tempat yang ada bola basketnya. Yang langsung terpikirkan dipikiran saya adalah mengajaknya ke Timezone. Padahal saya juga belum pernah main ke tempat itu.
Saya ajak saja pergi ke Summarecon Mall Bekasi. Naik Go-Car. Kebiasaannya di Taiwan naik mobil pribadi. Kalau naik motor dia nggak mau jadi penumpang. Maunya jadi pengemudi. Saya ngeri. Cari yang aman saja. Toh ongkosnya tidak sampai Rp25.000 dan tidak perlu bayar parkir.
Sekitar 20 menit kami sampai di tujuan. Saya giring sepupu saya itu sampai masuk ke Mall. Berhubung saya baru 3 kali masuk Mall itu. Saya tidak tahu posisi dan letak Timezone ada dilantai berapa. Dua kali naik turun dari lantai paling atas sampai lantai 1. Ternyata tempat hiburan itu ada dilantai 2. Pak Boss bilang “tidak tahu cukup sekali”. Jadi saya enjoy saja, sama seperti kalau masuk gedung tinggi dicerita-cerita saya sebelumnya “pura-pura ngerti”. Jangan lupa, ekspresi wajah dan cara jalan harus dikontrol supaya tidak terlihat norak.
Biasanya kalau main ditempat seperti itu, yang ada komedi putarnya kan pakai koin. Yasudah dengan percaya diri saya bilang ke petugas tiketnya “mau beli koin”. Si petugas nyengir. Dia bilang “sekarang sudah pakai kartu mbak, jadi sebelum main harus buat kartu dulu, harganya Rp100.000 sudah termasuk saldo untuk bermain Rp200.000.” Saya mulai paham. Sudah saya dapatkan juga kartunya. Mulai mencari permainan bola basket yang dimaksud sepupu saya itu.
Masih belum tahu cara menggunakan kartunya. Saya coba tempel kartunya. Tidak mau juga. Seperti biasa, mundur dua langkah. Mata lirik kesamping, coba cari tahu gimana cara menggunakan kartunya. Ternyata kartunya digesek. Seperti belanja bayar pakai debit. Kalau sudah begini kan saya jadi tahu. Setidaknya saya sudah jadi manusia yang modern.
Pertemuan dengan Xiăo Zhū
Bosan main bola basket. Kami berdua main boneka capit. Dari mulai yg boneka paling kecil hingga boneka paling besar. Baru coba permainan ini, sudah ada boneka yang berhasil didapat. Warnanya hijau, telinga dan hidungnya berwarna merah muda. Mirip seperti babi.
Senang sekali. Sepupu saya tak hentinya tertawa. Dia bilang ” Jiejie This is for you” logat China.
Tidak banyak percakapan kami menggunakan bahasa Inggris. Tapi terlalu banyak menggunakan bahasa isyarat. Karena orang sana bingung kalau kita ajak bicara. Dialeknya berbeda. Untungnya dia langsung mengerti apa yang saya maksud kalau pakai bahasa isyarat.
Hari itu juga dia terlihat sangat lelah. Karena dari awal kedatangannya, sepupu saya itu pergi ke banyak tempat. Seharusnya Sabtu ini adalah hari istirahatnya sebelum besoknya pulang ke negaranya. Dari wajahnya juga sudah menunjukkan “not happy”. Akhirnya saya ajak pulang. Tapi dia bilang “I’m hungry”. Memang dia keseringan lapar. Makannya banyak. Disamping Timezone ada satu resto. Namanya sapo. Lihat menu bebek panggang dia minta saya untuk temani makan disitu. Saya pesan satu porsi nasi, satu porsi iga sapi, satu porsi sayur brokoli, dan satu porsi bebek panggang ukuran besar. Tugas saya lihat dia makan, lalu bayar ke kasir.
Sebanyak itu dia makan. Sendirian. Dan habis tak tersisa. Padahal kalau tidak habis, mau dibungkus. Ternyata malah habis sampai ke tulangnya pun bersih. Total harga keseluruhannya jadi Rp436.000. Saya kaget. Ini yang dibilang teman saya “kalau kamu ke Summarecon, pulang-pulang pasti miskin”. Tapi gapapa lah, toh dia disini tidak setiap hari. Besok juga sudah pulang hehehe
Sampai dirumah, saya tunjukkan oleh-oleh boneka babi tadi ke bulek saya itu.
Dia bilang “wah bawa babi”.
Saya tanya “bahasa mandarinnya babi apa bulek?”
Bulek jawab, “kalau disana namanya zhÅ« (baca : cu), kalau itu kan kecil jadinya xiăo zhÅ« (baca : siao cu) disingkat lagi yaocu. Artinya babi kecil.”
Makanya boneka itu saya beri nama Yaocu. Jadi kalau kangen bulek, saya bisa peluk di babi kecil itu. Karena bulek saya kan, kalau telpon setahun sekali atau kadang 2 tahun sekali. Balik ke Indonesianya bisa belasan tahun dulu baru kesini lagi.
Di hari Sabtu itu saya dapat Yaocu.
Pulang ke Taiwan
Sedih rasanya ditinggal lagi. Kedatangan mereka itu buat saya jadi punya cerita diminggu ini. Hari ini seharusnya saya gunakan untuk istirahat. Tapi ikut antar bulek ke Bandara Soekarno – Hatta sekaligus ingin tahu bentuk bandara kebanggaan Indonesia itu seperti apa.
Seperti biasa, sebelum bulek pulang ada pembagian angpao. Yang lain disangoni uang rupiah. Hanya saya yang diberi dollar. USD dan NTD. Walaupun jika ditukarkan ke IDR tidak seberapa. Setidaknya ada uang negara lain di dompet saya. Kata bulek, “itu untuk kamu nanti kalau jalan-jalan ke Singapore”. Memang sebelumnya saya bilang, saya baru mau terbang keluar. Tahun depan. Bulek saya bilang itu bagus. Artinya kalaupun terpaksa saya tukarkan uang itu ke Money Changer.
Saya antar bulek saya itu naik Go-Car. Tidak mungkin naik DAMRI. Mengejar waktu juga. Karena pesawat terbang sesuai jadwal. Pukul 14.10 WIB. Sekitar 1 jam dari BKS – CGK. Luar biasa. Ini kedua kalinya saya ke bandara lagi. Tenang. Tahun depan saya masuk kedalam bandara itu.
Cerita ini berakhir sementara di pintu gerbang 2 keberangkatan international. Terminal 3. Bandara Soekarno-Hatta. Bulek bilang dia akan kembali lagi tahun depan. Pakai hijab. Semoga saja.
Bulan Mei. Bulan kelahiran saya. Bulan spesial untuk saya. Apalagi di tahun ini. Banyak kejutannya.
Minggu ini saya kedatangan tamu jauh. Datang dari Taiwan. Pulau kecil yang terpisah dari daratan Tiongkok, tapi memiliki bahasa ibu yang sama. Mandarin. Ya, tamu itu adalah Tante saya. Adiknya ibu saya, anak nomor 9 dari 10 bersaudara. Namanya Kao An-ni. Dulu sebelum menjadi WNA namanya Nowo Prasetyani. Dipanggil Ani. Ia datang bersama anaknya. Kao Hsin. Membutuhkan 5 jam lebih untuk sampai di Indonesia. Naik pesawat langsung tanpa transit.
Terakhir kami bertemu, tahun 2005. Usia saya masih 6 tahun waktu itu. Sekarang usia saya sudah 19 tahun. Artinya, sudah 13 tahun tante saya baru kembali lagi. Ke tanah kelahirannya.
Banyak faktor, kenapa tante saya baru sekarang mengunjungi kami lagi di Indonesia. Waktu 2 tahun pertama menikah dengan suaminya. Tante saya terkena musibah. Suaminya kecelakaan mobil, hingga kedua kakinya lumpuh. Kalau mau kemana-kemana harus dipapah, dan dinaikan ke kursi roda. Siang malam harus dijaga. Sementara itu tante saya juga harus mengurus keluarga suaminya, dari mulai orang tuanya (mertua), sampai adik-adik suaminya (ipar) yang belum menikah.
Sebelum ke Indonesia. Jam 01.00 WIB pagi, ibu saya mendapat panggilan telepon dari luar negeri. Kode +886 (Taiwan). Ibu saya paham betul, itu pasti tante saya yang ingin cerita tentang situasi dirumahnya. Langsung saja, tante saya bilang bahwa hari Jum’at di minggu ini akan berkunjung ke Indonesia. Minta tolong dijemput di Bandara International Soekarno-Hatta. Kami semua senang, tak sabar ingin bertemu. Apalagi saya. Keponakannya yang paling dekat dengannya. Paling disayang. Paling dimanja. Pokoknya paling-paling.
Tugas menjemput ke Bandara saya serahkan ke ibu saya. Padahal tante minta saya yang jemput. Karena saya kerja, jadi saya alihkan ke ibu saya. Supaya ibu saya juga bisa jalan-jalan, tahu gimana caranya ke Bandara. Supaya nggak norak. Saya bilang ke ibu saya, kalau dari rumah ke Terminal Kayuringin dulu, setelah itu naik DAMRI. Harga tiket per orang Rp45.000. Bilang ke supirnya, turun di terminal 3 untuk kedatangan. Ibu saya oke-oke saja. Ternyata ibu saya lupa bilang ke supirnya kalau seharusnya turun di Terminal 3. Ibu saya turun di terminal 2. Panik dia. Telepon saya. Saya bilang tanya-tanya sama petugas disana. Akhirnya ibu naik kereta bandara. Lho! saya keduluan ibu naik kereta bandara. Harusnya kejadian yang ibu saya alami itu jadi cerita saya minggu ini.
Sekitar jam 16.00 WIB ibu dan tante saya sudah sampai dirumah. Melihat saya, tante mendekap saya erat. Tak henti-hentinya dia memandangi wajah saya. Rindu sekali, jelasnya. Salah satu tujuannya ke Indonesia adalah ingin membawa saya kerumahnya. Lanjut kuliah disana katanya. Karena tante saya tahu saya sudah memiliki paspor. Paspor yang saya buat tahun lalu, dapat subsidi dari kantor.
Banyak yang saya tanyakan tentang kegiatannya disana. Dan kebiasaan masyarakat sana.
Kehidupan setelah jadi WNA
Saya tanyakan bagaimana rasanya ketika sudah jadi warga negara sana. Dia bilang sama saja seperti di Indonesia. Rata-rata disana buka usaha sendiri. Rumah disana juga unik. Sampai 5 lantai. Untuk peraturan sekarang rumah-rumah baru hanya boleh membangun sampai 3 lantai saja. Untungnya tante saya sudah membangun itu sejak lama. Rumahnya 5 lantai. Lantai dasar untuk garasi mobil dan toko tempat mencari uang setiap hari. Lantai 2 untuk gudang. Lantai 3 – 5 untuk kamar tidur. Rumah saya yang hanya memiliki 2 lantai saja, kalau ada badai takut buru-buru lari turun kebawah. Apalagi sampai 5 lantai. Bingung turunnya gimana.
Karena suaminya sakit, maka tante saya yang mencari uang. Setiap hari buka toko. Jual makanan. Namanya Xiao Long Bao. Makanannya itu terbuat dari terigu yang diisi daging babi dan sayuran. Mirip dengan siomay. Setiap hari terjual 2-3 panci besar. Penghasilnya 10.000 hingga 15.000 NTD (mata uang Taiwan). Jika di ke rupiah kan maka sekitar Rp4.000.000 s/d Rp7.000.000. Terlihat besar jika uangnya dibawa ke Indonesia hehehe 😀
Tante saya juga bilang. Disana semua bekerja keras. Supaya dapat uang banyak. Kemudian uangnya digandakan. Dengan cara pasang judi. Bukan hanya remaja, ibu rumah tangga pun banyak yang ikut jadi peserta.
Jaman sekarang juga banyak pria Taiwan yang ingin menikahi wanita Indonesia. Banyak juga TKW yang diberangkatkan kesana. Orang Indonesia, dikenal rajin disana. Makanya banyak laki-laki Taiwan yang mau menikahi wanita Indonesia. Supaya, bisa mengurus orang tuanya. Mengurus mertua katanya. Bukan katanya juga, setiap malam saya tonton stasiun televisi Taiwan “Daai TV”, disaluran itu ditayangkan kisah-kisah kehidupan orang Taiwan. Memang benar, jika wanita sudah dinikahi maka kewajibannya : mengurus orang tuanya (walaupun pisah rumah), mengurus mertuanya, mengurus adik iparnya yang belum menikah dan mengurus urusan rumah tangga lainnya. Kalau saya ditanya, mau nggak nikah sama orang sana? Mungkin saya bilang “saya tidak mau”. Alasannya masih menyukai dan mencintai produk-produk Indonesia 😀
Dua hari di Indonesia
Ibu saya bilang, tante saya ingin sekali makan sayur asam. Di Taiwan ada sambal terasi, tapi tidak ada sayur asam. Sejak sampai di tanah air kemarin, yang dirindukan adalah sayur asam, sate dan bakso. Di Taiwan tidak ada yang jual. Makanya waktu saya beli bakso untuknya. Dimakan habis, lahap sekali. Di Taiwan makanan jenis apapun diberi potongan daging babi. Mie pakai daging babi. Tahu isi daging babi. Bakpao isi daging babi. Semua daging babi. Jadi kalau berkunjung kesana, coba masak sendiri saja. Jangan jajan.
Ada hal konyol. Karena keterbatasan berbahasa asing, saya agak kesulitan untuk komunikasi dengan sepupu saya. Sepupu saya ini laki-laki. Usia 15 tahun. Sudah 2 kali menghancurkan mobil pribadinya. Ditabrakkan ke mobil lain. Nakal. Tapi dia bilang kesan pertamanya bertemu lagi dengan keluarga di Indonesia adalah “Verry good”. Kekonyolan itu, waktu saya menawarkan ingin ke kamar mandi (pipis) atau tidak. Cerita ini mungkin terlihat jorok. Bisa dibayangkan, bagaimana cara saya menanyakannya dengan bahasa isyarat. Sangat memalukan. Dia bisa bahasa Inggris, saya yang kurang bisa. Jadi tidak nyambung. Akhirnya pakai bahasa isyarat, memperagakan. Bukannya mengerti, malah saya ditertawakan.
Waktu itu, saya antar sepupu saya itu beli minum di warung. Dia ambil minuman harga Rp5.000 dia bayarkan dengan uang Rp100.000. Di kembalikan Rp95.000. Sampai dirumah di hitung lagi uang kembaliannya. Dia bisa menghitung uang, tapi tidak mengerti kurs mata uang. Dia pikir nilai mata uang IDR sama dengan nilai mata uang NTD. Sepupu saya terkejut ketika tahu harga minumannya Rp5.000, dia bilang ke ibunya “Tai Gui Le” artinya mahal sekali. Mungkin di Taiwan sana, harga minuman hanya beberapa sen. Sedangkan disini minuman murah pun dibayar pakai uang yang nilainya ribuan.
Sekarang tante saya dan anaknya ada di Kebumen. Jenguk eyang disana. Saya antar mereka ke St. Pasar Senen. Sebelumnya keberangkatan mereka, tante meminta saya untuk ambil yang di ATM. Nilai uangnya lumayan banyak. Saat saya beri segepok uang itu didepan anaknya. Anaknya terkejut, ijo kalau liat duit. Matanya serasa ingin keluar. Saya bilang ke tante saya, bahwa nilai uang yang saya beri itu setengah dsri nilai uang yang kemarin. Kemarin itu pecahan uang Rp100.000. Sebelum masuk ke tas, anaknya spontan minta uang. Di beri Rp10.000, senang sekali. Mungkin menurut dia nilai uang 10.000 disini sama dengan nilai uang di negaranya.
Sementara 5 hari kedepan tante saya menghabiskan waktunya ditempat kelahirannya. Tanggal 01 Juni 2018 nanti mereka kembali ke Bekasi. Sedang tanggal 03 Juni 2018, mereka sudah harus kembali ke negaranya. Mungkin juga saya yang akan mengantarnya ke Bandara. Dan pasti ada cerita baru lagi nantinya.
Akhirnya hari ini saya tulis juga. Setelah menunggu yang ditunggu tidak datang juga. Padahal, ingin saya buat cerita. Tapi tidak apa-apa, begini ceritanya. Kemarin itu ulang tahun saya. Iya, 18 Mei tepatnya. Genap sudah 19 tahun usia saya. Masih belum terbayang sejauh ini saya sudah melangkah. Tahun depan sudah kepala dua. Menginjak usia 20. Itu artinya saya bertambah tua. Semakin berkurang jatah hidup didunia.
Saya anak tertua. Anak sulung. The Number One. Perempuan. Memiliki 2 orang adik kandung. Yang usianya terpaut lumayan jauh, empat hingga tujuh tahun.
Waktu kecil dan belum punya adik saya adalah anak kesayangan. Masih teringat, setiap minggu dikesempatan waktu. Selepas ayah pulang kerja, saya sudah didandani cantik oleh ibu mau diajak jalan-jalan pergi ke Mall. Karena saya anak pertama saat itu, jadi semuanya diberikan. Pulang jalan-jalan, beli mainan tak pernah ketinggalan. Hingga ulang tahun di usia 12 bulan pun dirayakan. Saya mendapatkan kue ulang tahun pertama itu diusia 12 bulan setelah kelahiran.
Semakin bertambah usia saya. Hingga umur empat tahun. Adik pertama saya lahir. Perempuan juga. Saya tetap jadi the number one, hanya saja bukan satu-satunya lagi. Disini orang tua saya mulai memberikan pelajaran tentang kemandirian. Dari mulai mandi sendiri, dan pakai baju sendiri. Tapi waktu itu saya belum bisa dandan sendiri. Sampai sekarang mungkin hehe 😀
Ada satu hal yang tidak pernah saya lupa. Kalau sudah masuk waktu Dzuhur, matahari sudah berada tepat diatas kepala, saya selalu dikurung ibu didalam rumah. Tujuannya supaya rutin tidur siang. Untuk tujuan lainnya, supaya saya tidak jadi anak nakal. Karena anak-anak dilingkungan saya nakal-nakal. Jadi, untuk jam main ibu selalu beri batas waktu.
Diusia empat tahun ini, saya sudah mengenal angka, huruf dan warna. Buku tulis dan pulpen jadi mainan saya. Dari halaman lembar pertama hingga halaman dipertengahan buku, isinya tulisan saya. Coret-coret membentuk rantai. Kenapa begitu? Dulu waktu ayah sakit, berobat ke klinik. Saya ikut masuk kedalam. Disana ada dokter yang tulis resep. Tulisannya jelek, tidak jelas dibaca. Jadi saya contoh itu. Kalau ayah pulang kerja, saya tunjukkan coretan itu. Saya bilang “ini tulisan dokter”. Ayah saya hanya tertawa kecil dan usap kepala saya. Mungkin juga dalam hatinya, ayah doakan saya supaya jadi dokter.
Taman Kanak – Kanak (TK)
Tahun 2004, usia saya menginjak 5 tahun. Sudah mulai bersekolah. Sekolah TK. Letak sekolahnya dekat dengan rumah saya. Hanya keluar gang, belok kanan lurus terus, belok kiri sedikit lagi sampai. Namanya TK IT Al-Huda. Biayanya mahal. Tapi alhamdulillah, semua anak ayah dan ibu saya bisa sekolah disana.
Satu bulan pertama, ibu selalu antar saya ke sekolah. Lama-lama saya berangkat ke sekolah sendiri. Saya memang anak yang pemberani. Pergi sekolah dan pulang sekolah jalan sendiri tanpa diantar atau dijemput. Itu kata ibu saya. Masuk sekolah itu pukul 07.00 WIB. Pulang sekolah itu pukul 09.00 WIB. Bawa bekal makanan dan minum. Makanannya nasi goreng atau nasi uduk buatan ibu. Minumnya teh manis, botol minumnya dikalungi dileher saya. Ke sekolah mau nya pakai sepatu yang alasnya ada lampu warna warni, jadi kalau diinjak sepatunya nyala kelapkelip. Tak lupa pakai tas dorong. Itu gaya anak sekolah TK paling keren dijaman saya. Kalau kalian pernah begitu, berarti kalian seangkatan dengan saya.
Jaman TK dulu, saya terbilang anak yang pintar. Selalu dapat gambar bintang. Waktu TK sistem penilaiannya bukan pakai angka, tapi pakai gambar bintang. Kalau gambar bintangnya ada lima artinya dapat nilai 100. Kalau nilainya jelek biasanya bu guru kasih gambar bulan menangis.
Pernah satu kali, sewaktu saya mewarnai bendera negara kita. Indonesia. Harusnya merah putih. Saya warnai dengan crayon menjadi putih merah. Guru saya, bu Rossi namanya. Memberi saya gambar bulan menangis. Besar sekali. Pulang sekolah, ibu periksa buku ditas saya. Ibu kaget. Saya dipanggil, terus ibu empos saya waktu itu. Diempos itu dicubit terus diputar. Bukan, ini bukan makan oreo, bukan juga kekerasan terhadap anak. Hanya saja ibu saya gemas karena kekonyolan saya.
Saya selalu ditunjuk sebagai pemimpin kelompok. Salah satunya kelompok untuk tampil lomba baca surah-surah pendek yang acaranya di laksanakan di Pantai Ancol untuk seluruh TK se-Jabodetabek. Waktu itu saya dan teman-teman saya juara 1. Setelah sempat kejadian bertengkar dengan salah satu rekan saya. Nanda namanya. Badannya lebih besar dari saya. Bu guru bilang “Ayo berbaris! yang tinggi dibelakang yang kecil didepan”. Teman saya yang gendut, tinggi dan besar itu tidak mau baris dibelakang. Saya peringati, dia marah dan saya dicubit. Yasudah saya cakar pipinya. Dia menangis, dan tidak jadi ikut tampil ke atas panggung.
Selain pintar, saya juga nakal. Saya akui itu.
Sekolah Dasar (SD)
Tahun 2005. Setelah lulus dari TK. Saya melanjutkan pendidikan ke tingkat SD. SDN Kota Baru IV namanya. Disini banyak hal-hal konyol yang saya alami. Saya mau sombong sedikit. Dari kelas 1 SD sampai kelas 6 SD saya selalu dapat peringkat 1 dikelas. Pernah jadi ketua kelas, ketua pramuka, danton paskibra, dan sekretaris di ekskul drumband. Saya aktif diberbagai kegiatan di sekolah. Selalu diikutsertakan dalam perlombaan.
Salah satunya ikut lomba sinopsis. Pada lomba ini, peserta diberi waktu satu setengah jam untuk membaca satu cerita. Peserta lomba, diberi satu buku yang didalamnya terdapat tiga cerita. Kemudian, cerita yang sudah dibaca dituliskan/dirangkum kembali pada kertas folio dengan huruf sambung. Jika sudah dirangkum, peserta lomba diwajibkan menceritakan kembali kepada dewan juri.
Waktu itu pesertanya ada 172 siswa. Yang akan dipilih untuk pemenangnya hanya 6 orang saja. Dan saya menjadi salah satunya. Masih teringat, kala itu saya diberi kartu peserta dengan nomor urut 057. Sayangnya di babak final, saya lupa semua jalan ceritanya. Mungkin karena terlalu kekenyangan makan bakso. Saya gagal menjadi juara I, II, III, Harapan I atau II. Saya hanya membawa pulang piala “Harapan III”. Sebenarnya saya sudah ditunjuk untuk lomba cerdas cermat, karena saya lemah dipelajaran IPS akhirnya saya batal diikutsertakan. Keputusannya saya dipilih untuk ikut lomba sinopsis ini. Latihan hanya 2 hari, di ruang guru. Tidak belajar bersama teman-teman dikelas. Jaman saya SD, siapa yang belajar diruang guru, berarti dia pintar.
Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Tahun 2011. Saya melanjutkan pendidikan ketingkat SMP. SMPN 13 Bekasi namanya. Dekat rumah saya. Bersekolah disini, bukan cita-cita saya. Bukan juga paksaan orang tua. Hanya saja terpaksa karena nilai saya yang kurang. Menjadi peringkat 1 dikelas tidak menjamin memiliki NEM besar. Cita-cita saya adalah masuk ke SMPN 172 Jakarta. Karena sudah didoktrin sejak SD bahwa anak Bekasi bersekolah di sekolah negeri di Jakarta adalah hebat. Maka saya ingin sekali bersekolah disana. Sayang, bukan rezeki saya.
Tapi disini saya buktikan, jika lulus dari sini saya bisa berlanjut ke sekolah bonafit. Bersekolah disini, saya selalu masuk ke kelas unggulan. Peringkat 4. Tidak pernah sampai ke peringkat 20. Kenapa begitu? Dalam satu kelas itu peringkat 1 bisa sampai 5 orang. Karena bersaing. Jumlah siswa dalam satu kelas ada 48 orang. Di SMP saya aktif di ekstrakurikuler Paskibra. Sering ikut lomba. Banyak menyumbang piala. Terakhir, ikut lomba baca puisi. Di SMPN 4 Bekasi. Saya gagal juara. Karena puisi yang saya bawakan bukan yang diinginkan. Kurang informasi. Mungkin juga karena pembawaan saya dalam membaca puisi kurang. Makanya saya gagal.
Saya ingat, waktu itu sudah jam pulang sekolah. Saya masih di sekolah, karena harus latihan untuk lomba baca puisi. Salah seorang guru yang terkenal cukup killer. Bu Muji namanya, dia guru IPA.
Dia tanya ke saya “Kamu kenapa belum pulang? Tunggu apa?”
Saya bilang, “Saya latihan untuk lomba bu, lomba baca puisi”.
Lalu beliau bilang, “Kamu ikut lomba baca puisi? Bagaimana bisa menang kalau muka mu saja tidak puitis”.
Kalimat-kalimat itu masih saya ingat hingga sekarang. Setidaknya saya pernah mencoba, saya sudah tahu rasanya ikut lomba tampil didepan banyak orang sendirian. Dan keuntungannya menambah pengalaman.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Tahun 2014. Sesudah melewati masa-masa S2 saya di SD dan SMP. Akhirnya pendidikan S3, saya lanjut di SMKN 1 Kota Bekasi. Sekolah model. Mantan RSBI. Sekolah negeri, tapi bayar SPP. Keinginan saya yang sesungguhnya ingin melanjutkan ke SMA saja, tapi orang tua tidak setuju. Bingung kalau saya sudah lulus, kuliah harus negeri supaya tidak bayar mahal. Cari kerja pun sulit, paling-paling diindomaret. Ibu saya tidak ingin saya begitu. Dan saya tidak sukses meyakinkan ibu saya. Saya turuti saja.
Saya ambil jurusan TKJ (Teknik Komputer Jaringan). Karena dasarnya saya tidak bisa mengoperasikan komputer saat itu. Gaptek. Padahal punya laptop. Tapi tidak pernah dibuka. Saya pikir di TKJ hanya instal, instal dan bongkar pasang komputer. Ternyata TIDAK! TKJ disini beda. Lain daripada yang lain. Guru saya, Bu Nikmah dan Pak Supri sukses membuat saya menangis karena tugas-tugasnya. Karena mereka juga, sampai akhirnya saya bisa gabung di PT. Excellent Infotama Kreasindo. Di lain waktu akan saya ceritakan bagaimana saya bisa sampai sekarang ini karena mereka berdua dan Boss saya.
Di SMK saya tidak aktif berorganisasi. Sayang sekali, padahal banyak ekstrakurikuler yang disediakan. Yang akan selalu saya ingat jaman SMK, adalah “Tradisi goceng-goceng”. Tradisi ini diadakan setiap tahun. Siapa yang ulang tahun dikelas, akan diberi hadiah dan kue. Dirayakan bersama teman sekelas. Uang untuk beli hadiah dan kue, ditagih sebesar Rp5.000 (goceng) kepada setiap siswa. Kecuali yang sedang ulang tahun, itu yang tidak ditagih. Unik, tapi kadang mencekik. Kalau belum kasih uang iuran bisa-bisa dipanggil kikir.
Kerja sambil Kuliah
Tahun 2017. Saya lulus dari SMK dan resmi bergabung dengan Excellent. Setelah lulus UN saya langsung masuk kerja. Tidak ada kata “nganggur”. Bukan sombong. Ini namanya beruntung. Bersyukur. Alhamdulillah. Saat ini masih berjalan, dan akan disambil dengan kuliah. Tahun ini in shaa Allah saya kuliah. Menambah ilmu untuk karir juga. Karena kedua orang tua saya hanya lulusan SMA sederajat. Maka saya harus lebih maju satu tingkat, untuk saat ini. Awal masuk kerja saya ada dibagian Finance & Accounting. Saat ini saya pindah ke bagian Sales & Marketing. Jauh dari latar belakang pendidikan saya. Tapi itu menjadi nilai tambah untuk saya pribadi.
Cerita ini saya tuliskan dengan maksud mengingat apa saja pelajaran dan pengalaman hidup yang saya alami selama 19 Tahun ini. Akan ada banyak cerita nantinya. Tapi ini salah satu bagian dari cerita tersebut.
Senin sampai Rabu saya belum juga mendapatkan cerita yang menarik. Saya masih bingung apa yang mau saya tulis minggu ini. Sebenarnya saya sudah cicil kata-kata. Disusun menjadi kalimat. Kemudian disatukan dalam bentuk cerita. Tapi belum waktunya saya publish. Jadi saya coba cari cerita lain. Untungnya di minggu ini ada tanggal merah. Hari libur. Mungkin ada bahan cerita yang bisa saya tulis diminggu ini.
Awalnya keluar rumah niat mau pulangin kamera yang saya pinjam waktu liburan ke Kebumen minggu lalu, sekalian isi bensin motor. Tidak ada niat mau jalan-jalan atau berwisata. Sudah isi bensin motor, saya pulang lewat jalan biasa. Nyebrang rel kereta di bawah fly over Kranji. Dekat St. Kranji. Kalau kalian orang rawa bebek bekasi pasti tahu jalan yang saya maksud.
Karena cuaca terik sekali. Akhirnya saya coba ketempat yang lebih adem. Tidak terkena sinar matahari. Rupanya saya masuk ke wilayah parkir. Tempat orang-orang yang mau naik kereta, menitipkan motornya.
Melihat saya masuk lahan parkirnya, akhirnya tukang parkir kegirangan. “Wah nambah customer” (katanya dalam hati).
Menghampiri saya kemudian dia tanya “Pulang jam berapa?”
Saya bingung dari awal dia liat saya. Kok tiba-tiba ditanya kapan pulang. Saya clingak-clinguk didepan pintu masuk rumah ada tulisan “PARKIR MOTOR”. Saya salah neduh. Semenjak stasiun dibangun. Usaha parkir motor pindah. Mereka yang tinggal dekat dengan pintu masuk stasiun punya peluang usaha parkir. Dan saya baru tahu itu.
Karena saya tidak enak menolak. Akhirnya saya iyakan saja motor saya diparkir. Saya gaya-gaya jalan ke stasiun. Sudah didepan loket, panjang antrean dan saya bingung mau kemana. Saya kira kalau libur, banyak orang istirahat dirumah. Ternyata banyak orang wisata. Yang ada dipikiran saya. Saya mau ke Stasiun Jakarta Kota kemudian lanjut perjalan ke Pantai Ancol. Ya intinya saya mau jalan-jalan ke Jakarta. Rata-rata mereka yang antre beli tiket ke Jakarta. Menghindari desak-desakan di kereta saya beli tiket jurusan Bogor. Harga tiket pulang pergi Rp24.000 termasuk biaya jaminan Rp10.000 untuk pengguna THB (Tiket Harian Berjamin). Sampai bogor saya tidak tahu mau ke mana. Itu nanti saja, kalau saya sudah sampai tujuan akhir Stasiun Bogor.
Berangkat pukul 09.00 WIB sampai Stasiun Bogor 11.30 WIB. Rute perjalanannya, dari Stasiun Kranji transit di Stasiun Manggarai. Sebenernya bisa juga transut di Stasiun Jatinegara. Tapi nanti yang ada diajak muter-muter kelamaan dijalan. Lanjut, dari Stasiun Manggarai naik kereta tujuan akhir Stasiun Bogor, kereta tersedia di Jalur 6. Menguntungkan jika keretanya kosong penumpang, jadi bisa duduk tanpa harus berdiri. Disamping Stasiun Bogor, ada Taman Topi. Untuk yang punya anak kecil bisa ajak anaknya jalan-jalan kesini. Harga tiket masuknya Rp2.000/orang. Tapi saya tidak tertarik berkunjung kesana.
Akhirnya saya pergi ke Kebun Raya Bogor. Keluar Stasiun Bogor, jangan lewat JPO. Nanti kesasar. Jalan saja sampai ujung pertigaan. Nyebrang ke Istana Kepresidenan Bogor. Kemudian lanjut jalan sampai ketemu tulisan “Loket Masuk Kebun Raya Bogor”. Ciri-cirinya banyak tukang gorengan dan talas bogor didepan. Tiket masuknya Rp14.000/orang khusus untuk domestik. Kalau untuk wisatawan asing Rp25.000/orang. Bawa sepeda nambah biaya Rp5.000/sepeda. Kalau berdua sama pacar nambah Rp14.000.
Saya sarankan jika berlibur ke KRB, bawa bekal makanan dari rumah. Karena harga makanan disana dua kali lipat dari harga makanan yang dijual di Bekasi. Contohnya saya beli dua chiki, satu wafer sama dengan Rp30.000. Tapi gapapa duit saya masih banyak. Ini saya sarankan untuk yang punya duit tapi ga banyak.
Banyak juga yang liburan bawa rombongan. Kalau saya perhatikan mereka yang pergi liburan kesini, 85% hanya numpang foto dan makan dibawah pohon. Jarang ada yang kepo tentang pohon-pohon apa saja yang ditanam. Kemudian toilet disana jaraknya juga jauh. Mushola dan masjid juga jauh sekali. Saya yang pergi terlalu jauh, atau memang posisinya memang di setting jauh. Untuk sampai ke Masjid saya menyebrangi jembatan gantung.
Jembatan Gantung
Jembatan ini dijuluki jembatan putus cinta. Mitosnya seperti itu. Dibawah jembatan ini mengalir air deras, seperti sungai. Batunya besar-besar. Untuk melewati jembatan ini dibatasi maksimal 10 orang. Tapi waktu saya kesana, ada 20 orang lebih diatas jembatan. Asyik selfie. Saya yang mau lewat, mikir dua kali. Dan bertanya mau sampai kapan saya disini, nunggu jembatan sepi yang lewat hanya 9 atau 8 orang saja tidak mungkin. Karena daya tampungnya maksimal 10 orang.
Satu langkah maju, jembatannya goyang-goyang. Saya takut. Coba lagi. Goyangnya kok makin kencang. Saya coba lihat diujung jembatan sana. Ternyata ibu-ibu dengan bahagiannya dia loncat-loncat diatas jembatan. Tidak ada yang menegurnya. Padahal besi yang dijadikan sebagai lantai jembatan, sudah mulai hilang bautnya dan sedikit keropos. Bahaya jika tidak waspada. Lama menunggu saya maju 7 langkah. Dan akhirnya saya bisa selfie juga.
Pohon Kenari Babi
Sebelum ke Jembatan Gantung saya melewati pohon besar yang menarik perhatian. Namanya “Kenari Babi”. Pohon ini bisa tumbuh sampai 10m. Bentuk batangnya seperti gua. Banyak dijadikan tempat untuk spot selfie. Pohonnya memang unik. Namun sudah tua. Jadi harus tetap waspada, sewaktu-waktu bisa tumbang.
Taman Astrid
Letaknya dekat dengan pintu keluar. Nama jalannya, jalan Astrid. Karena disepanjang jalan ini ditanami bunga Astrid. Tidak mungkin orang yang berkunjung ke Kebun Raya Bogor tidak berkunjung juga ke taman yang satu ini. Tamannya luas. Hamparan rumput seperti karpet hijau. Bisa foto sambil tiduran atau tengkurap. Taman ini dekat dengan kolam teratai raksasa. Sayangnya waktu saya berkunjung kemarin teratai raksasanya sedikit kurang dari 10 tanaman.
Perjalanan pulang dari KRB sampai ke Stasiun Bogor saya tempuh dengan transportasi umum (angkot) jurusan BR Siang – Bubulak. Ongkosnya Rp5.000. Dari St. Bogor sampai St. Kranji kira-kira 2jam. Karena berangkat dari jam 14.30 WIB sampai di Bekasi jam 16.30 WIB. Wisata ini saya namakan wisata tahu bulat. Karena dadakan.