Bulan Mei. Bulan kelahiran saya. Bulan spesial untuk saya. Apalagi di tahun ini. Banyak kejutannya.
Minggu ini saya kedatangan tamu jauh. Datang dari Taiwan. Pulau kecil yang terpisah dari daratan Tiongkok, tapi memiliki bahasa ibu yang sama. Mandarin. Ya, tamu itu adalah Tante saya. Adiknya ibu saya, anak nomor 9 dari 10 bersaudara. Namanya Kao An-ni. Dulu sebelum menjadi WNA namanya Nowo Prasetyani. Dipanggil Ani. Ia datang bersama anaknya. Kao Hsin. Membutuhkan 5 jam lebih untuk sampai di Indonesia. Naik pesawat langsung tanpa transit.
Terakhir kami bertemu, tahun 2005. Usia saya masih 6 tahun waktu itu. Sekarang usia saya sudah 19 tahun. Artinya, sudah 13 tahun tante saya baru kembali lagi. Ke tanah kelahirannya.
Banyak faktor, kenapa tante saya baru sekarang mengunjungi kami lagi di Indonesia. Waktu 2 tahun pertama menikah dengan suaminya. Tante saya terkena musibah. Suaminya kecelakaan mobil, hingga kedua kakinya lumpuh. Kalau mau kemana-kemana harus dipapah, dan dinaikan ke kursi roda. Siang malam harus dijaga. Sementara itu tante saya juga harus mengurus keluarga suaminya, dari mulai orang tuanya (mertua), sampai adik-adik suaminya (ipar) yang belum menikah.
Sebelum ke Indonesia. Jam 01.00 WIB pagi, ibu saya mendapat panggilan telepon dari luar negeri. Kode +886 (Taiwan). Ibu saya paham betul, itu pasti tante saya yang ingin cerita tentang situasi dirumahnya. Langsung saja, tante saya bilang bahwa hari Jum’at di minggu ini akan berkunjung ke Indonesia. Minta tolong dijemput di Bandara International Soekarno-Hatta. Kami semua senang, tak sabar ingin bertemu. Apalagi saya. Keponakannya yang paling dekat dengannya. Paling disayang. Paling dimanja. Pokoknya paling-paling.
Tugas menjemput ke Bandara saya serahkan ke ibu saya. Padahal tante minta saya yang jemput. Karena saya kerja, jadi saya alihkan ke ibu saya. Supaya ibu saya juga bisa jalan-jalan, tahu gimana caranya ke Bandara. Supaya nggak norak. Saya bilang ke ibu saya, kalau dari rumah ke Terminal Kayuringin dulu, setelah itu naik DAMRI. Harga tiket per orang Rp45.000. Bilang ke supirnya, turun di terminal 3 untuk kedatangan. Ibu saya oke-oke saja. Ternyata ibu saya lupa bilang ke supirnya kalau seharusnya turun di Terminal 3. Ibu saya turun di terminal 2. Panik dia. Telepon saya. Saya bilang tanya-tanya sama petugas disana. Akhirnya ibu naik kereta bandara. Lho! saya keduluan ibu naik kereta bandara. Harusnya kejadian yang ibu saya alami itu jadi cerita saya minggu ini.
Sekitar jam 16.00 WIB ibu dan tante saya sudah sampai dirumah. Melihat saya, tante mendekap saya erat. Tak henti-hentinya dia memandangi wajah saya. Rindu sekali, jelasnya. Salah satu tujuannya ke Indonesia adalah ingin membawa saya kerumahnya. Lanjut kuliah disana katanya. Karena tante saya tahu saya sudah memiliki paspor. Paspor yang saya buat tahun lalu, dapat subsidi dari kantor.
Banyak yang saya tanyakan tentang kegiatannya disana. Dan kebiasaan masyarakat sana.
Kehidupan setelah jadi WNA
Saya tanyakan bagaimana rasanya ketika sudah jadi warga negara sana. Dia bilang sama saja seperti di Indonesia. Rata-rata disana buka usaha sendiri. Rumah disana juga unik. Sampai 5 lantai. Untuk peraturan sekarang rumah-rumah baru hanya boleh membangun sampai 3 lantai saja. Untungnya tante saya sudah membangun itu sejak lama. Rumahnya 5 lantai. Lantai dasar untuk garasi mobil dan toko tempat mencari uang setiap hari. Lantai 2 untuk gudang. Lantai 3 – 5 untuk kamar tidur. Rumah saya yang hanya memiliki 2 lantai saja, kalau ada badai takut buru-buru lari turun kebawah. Apalagi sampai 5 lantai. Bingung turunnya gimana.
Karena suaminya sakit, maka tante saya yang mencari uang. Setiap hari buka toko. Jual makanan. Namanya Xiao Long Bao. Makanannya itu terbuat dari terigu yang diisi daging babi dan sayuran. Mirip dengan siomay. Setiap hari terjual 2-3 panci besar. Penghasilnya 10.000 hingga 15.000 NTD (mata uang Taiwan). Jika di ke rupiah kan maka sekitar Rp4.000.000 s/d Rp7.000.000. Terlihat besar jika uangnya dibawa ke Indonesia hehehe 😀
Tante saya juga bilang. Disana semua bekerja keras. Supaya dapat uang banyak. Kemudian uangnya digandakan. Dengan cara pasang judi. Bukan hanya remaja, ibu rumah tangga pun banyak yang ikut jadi peserta.
Jaman sekarang juga banyak pria Taiwan yang ingin menikahi wanita Indonesia. Banyak juga TKW yang diberangkatkan kesana. Orang Indonesia, dikenal rajin disana. Makanya banyak laki-laki Taiwan yang mau menikahi wanita Indonesia. Supaya, bisa mengurus orang tuanya. Mengurus mertua katanya. Bukan katanya juga, setiap malam saya tonton stasiun televisi Taiwan “Daai TV”, disaluran itu ditayangkan kisah-kisah kehidupan orang Taiwan. Memang benar, jika wanita sudah dinikahi maka kewajibannya : mengurus orang tuanya (walaupun pisah rumah), mengurus mertuanya, mengurus adik iparnya yang belum menikah dan mengurus urusan rumah tangga lainnya. Kalau saya ditanya, mau nggak nikah sama orang sana? Mungkin saya bilang “saya tidak mau”. Alasannya masih menyukai dan mencintai produk-produk Indonesia 😀
Dua hari di Indonesia
Ibu saya bilang, tante saya ingin sekali makan sayur asam. Di Taiwan ada sambal terasi, tapi tidak ada sayur asam. Sejak sampai di tanah air kemarin, yang dirindukan adalah sayur asam, sate dan bakso. Di Taiwan tidak ada yang jual. Makanya waktu saya beli bakso untuknya. Dimakan habis, lahap sekali. Di Taiwan makanan jenis apapun diberi potongan daging babi. Mie pakai daging babi. Tahu isi daging babi. Bakpao isi daging babi. Semua daging babi. Jadi kalau berkunjung kesana, coba masak sendiri saja. Jangan jajan.
Ada hal konyol. Karena keterbatasan berbahasa asing, saya agak kesulitan untuk komunikasi dengan sepupu saya. Sepupu saya ini laki-laki. Usia 15 tahun. Sudah 2 kali menghancurkan mobil pribadinya. Ditabrakkan ke mobil lain. Nakal. Tapi dia bilang kesan pertamanya bertemu lagi dengan keluarga di Indonesia adalah “Verry good”. Kekonyolan itu, waktu saya menawarkan ingin ke kamar mandi (pipis) atau tidak. Cerita ini mungkin terlihat jorok. Bisa dibayangkan, bagaimana cara saya menanyakannya dengan bahasa isyarat. Sangat memalukan. Dia bisa bahasa Inggris, saya yang kurang bisa. Jadi tidak nyambung. Akhirnya pakai bahasa isyarat, memperagakan. Bukannya mengerti, malah saya ditertawakan.
Waktu itu, saya antar sepupu saya itu beli minum di warung. Dia ambil minuman harga Rp5.000 dia bayarkan dengan uang Rp100.000. Di kembalikan Rp95.000. Sampai dirumah di hitung lagi uang kembaliannya. Dia bisa menghitung uang, tapi tidak mengerti kurs mata uang. Dia pikir nilai mata uang IDR sama dengan nilai mata uang NTD. Sepupu saya terkejut ketika tahu harga minumannya Rp5.000, dia bilang ke ibunya “Tai Gui Le” artinya mahal sekali. Mungkin di Taiwan sana, harga minuman hanya beberapa sen. Sedangkan disini minuman murah pun dibayar pakai uang yang nilainya ribuan.
Sekarang tante saya dan anaknya ada di Kebumen. Jenguk eyang disana. Saya antar mereka ke St. Pasar Senen. Sebelumnya keberangkatan mereka, tante meminta saya untuk ambil yang di ATM. Nilai uangnya lumayan banyak. Saat saya beri segepok uang itu didepan anaknya. Anaknya terkejut, ijo kalau liat duit. Matanya serasa ingin keluar. Saya bilang ke tante saya, bahwa nilai uang yang saya beri itu setengah dsri nilai uang yang kemarin. Kemarin itu pecahan uang Rp100.000. Sebelum masuk ke tas, anaknya spontan minta uang. Di beri Rp10.000, senang sekali. Mungkin menurut dia nilai uang 10.000 disini sama dengan nilai uang di negaranya.
Sementara 5 hari kedepan tante saya menghabiskan waktunya ditempat kelahirannya. Tanggal 01 Juni 2018 nanti mereka kembali ke Bekasi. Sedang tanggal 03 Juni 2018, mereka sudah harus kembali ke negaranya. Mungkin juga saya yang akan mengantarnya ke Bandara. Dan pasti ada cerita baru lagi nantinya.