Saya sedih, saat tahu Ayah saya dicurangi orang lain. Tapi juga kesal, karena Ayah tidak pernah mau melawan saat orang lain jahat kepadanya. Jawabannya selalu, “Sabar, gapapa dia jahat. Nanti Allah yang bales.”
Setiap hari Ayah mencari nafkah dari Bekasi – Bogor dengan mengendarai motor bekas saya sekolah dulu. Berangkat jam 05.15 WIB dan biasanya sampai rumah lagi jam 17.30 WIB.
Tapi tidak pada waktu itu. Jam 22.00 WIB, Ayah belum juga pulang. Tidak ada kabar juga untuk orang di rumah. Akhirnya android saya yang semula tidak pernah ada pulsa untuk SMS atau telepon, mendadak terisi saldo.
Nada sambung telepon berbunyi lama. Ayah belum juga mengangkat panggilan dari saya. Baru diakhir nada sambung, suara gemetar terdengar.
Saya tanya dimana beliau sekarang. Ayah bilang masih di Bogor.
Jam 10 malam. Masih di Bogor. Padahal besok harus kerja lagi.
Saya tanya kenapa masih di Bogor. Ayah bilang, motornya patah. Ayah sendirian dipinggir jalan. Menunggu temannya datang untuk membantunya mencari bengkel.
Informasinya tidak jelas. Akhirnya Ibu saya yang ganti berbicara.
Ayah menjelaskan bahwa rangka motornya patah. Terbelah dua. Karena korosi besi pada bagian tersebut.
Tapi Ayah juga salah, tidak langsung mengabari yang di rumah. Ayah bilang bahwa sudah ada temannya yang membantu. Mencarikan bengkel dan meminjamkan motor supaya Ayah bisa pulang ke Bekasi. Dan besok berangkat kerja lagi.
Motornya diinapkan di bengkel sekitar Bogor. Ayah memberi uang Rp100.000 sebagai DP kepada pemilik bengkel. Dengan harapan besok motornya langsung bisa disembuhkan, karena besok Ayah juga akan membayar lunas.
Ayah sampai di rumah dengan selamat. Hati kami sekeluarga terasa lega.
Keesokan harinya, Ayah mendatangi kembali bengkel itu. Ternyata motornya belum dikerjakan penyembuhannya.
Pikir Ayah, mungkin karena belum memberi uang lunas. Makanya belum dikerjakan juga. Akhirnya Ayah menanyakan berapa uang yang harus dibayar. Tukang bengkel itu bilang Rp200.000. Berarti sisa Rp100.000 uang yang mesti Ayah bayar.
Ayah melunasinya hari itu juga dan pulang ke rumah. Dengan harapan sama, motornya bisa langsung disembuhkan.
Selama motornya sakit, Ayah masih menggunakan motor temannya itu. Ayah saya memang jadi bahan bullyan dan bercandaan ditempat kerjanya. Terutama jadi bahan guyonan anak-anak muda. Lagi-lagi Ayah tidak pernah menegur bahwa tindakan itu salah. Ayah membiarkan saja, “biar mereka seneng pada ketawa” jawabnya.
Dari situ, kalau Ayah saya dalam kesulitan banyak juga orang yang membantu. Tidak sedikit pula orang yang mengatakan, Ayah saya baik dan tidak mudah marah.
Saya yang kesal dengan sikap Ayah yang tidak pernah melawan, sampai terpikir “Nanti kalau ada laki-laki yang mau melamar saya, apa yang akan dikatakan Ayah saya? Karena selama ini Ayah saya hanya iyaiyaiya saja. Apakah Ayah saya punya pertimbangan atau hanya OK saja”.
Sampai sebegitunya.
Melanjutkan cerita. Di hari ketiga, Ayah kembali mengunjungi bengkel tersebut. Disangka motornya sudah sembuh ternyata semuanya dibongkar, mesin-mesin diturunkan, semua kabel diputuskan. Padahal untuk penyembuhan hanya butuh pengelasan dibagian yang terpisah. Seperti ini wujud motornya.
Ayah meringis. Semuanya dibongkar. Ayah pulang dengan rasa kecewa. Dan harus pulang diantar temannya. Karena Ayah tidak mungkin membawa motor temannya lagi.
Setiap malam Ayah gelisah. Memikirkan bagaimana nasib kendaraannya untuk mencari nafkah itu.
Semenjak bekerja memang saya bisa beli motor hingga dua buah. Karena kebutuhan, adik saya yang sekolahnya jauh, Ayah saya yang tidak mungkin mengantar dan jemput anaknya dan saya sendiri yang kadang punya urusan lain. Saat dikalkulasi naik ojek online dengan cicilan motor beda tipis. Makanya saya memilih mencicil kendaraan. Tapi untuk motor yang satu lagi dibeli cash tanpa cicil. Karena waktu itu ada sedikit rezeki. Dan sebelumnya motor Ayah yang sakit ini juga sudah diservice dan diganti apa yang perlu diganti. Tujuannya agar perjalanan Ayah saya lancar dan tidak terkendala di motor.
Di hari keempat, Ayah kembali datang menjenguk motornya. Kondisinya masih sama belum diapa-apa kan motor Ayah saya itu.
Tukang bengkel itu bilang, motor Ayah tidak bisa dibetulkan, sudah terlalu parah terbelahnya. Jadi tidak bisa disambung. Coba bawa ke bengkel lain.
Karena Ayah terlalu baik dan tidak enakan, akhirnya dia memberi lagi uang Rp100.000 untuk si tukang bengkel. Menyewa mobil bak untuk mengangkut motornya yang sudah di bobrok itu.
Saya tahu Ayah saya pusing, memikirkan nasibnya besok. Apakah bisa bekerja atau tidak. Saya sebagai anak tertuanya, mencoba mengalah. Biar adik saya menggunakan motor saya. Ayah membawa motor satu lagi. Supaya semuanya berjalan dengan biasanya. Melupakan sejenak motor yang bobrok itu.
Selang dua minggu motor itu di rumah dan terbengkalai. Alhamdulillah ada sedikit rezeki untuk memperbaikinya.
Terkejut saya. Motor Ayah saya tidak bisa disembuhkan. Beberapa komponen motornya hilang, seperti AKI motor diganti dengan yang sudah mati, CDI diputus kabelnya, Kick Starter diambil, lampu tembak motor diambil. Semua itu diambil oleh bengkel pertama. Yang di Bogor itu. Yang sudah mendapatkan Rp300.000 dari Ayah saya. Saya menyebutnya uang tersebut adalah modal untuk membongkar komponen motor Ayah saya yang masih bisa dijual dengan harga tinggi.
Licik, jahat, sadis.
Ayah saya hampir tidak bisa bekerja karena ulahnya. Ibaratnya, Ayah saya datang ke bengkel itu hanya untuk mengantarkan barang untuk dimaling.
“Kalau memang niat mau benerin motor, nggak perlu semua diturunin. Nggak perlu mutusin kabel. Kalau begini jelas aja ga bisa dipasang lagi. Kalaupun di bawa ke AHAS, kalau udah begini ya ganti baru. Bengkel besar yang nggak terkenal juga bingung mau benerinnya gimana kalo udh dibobol gini”, kata si bengkel kedua.
Saya merasa sesak. Mengingat 4 tahun lalu, motor itu hadiah terindah untuk saya. Perjuangan Ibu saya untuk ikhlas dan rela kalungnya dijual supaya anaknya tidak jalan kaki sejauh 4 KM sampai ke sekolah.
Hari Rabu, setelah hujan lebat. Almarhumah nenek saya berdiri di depan rumah. Menunggu saya, supaya melihat motor itu. Supaya saya tidak usah lagi berjalan kaki setelah subuh, melewati rel kereta dan sulit menyeberang karena banyaknya motor dan mobil melintas.
Bukti bahwa orang tua saya memang benar-benar sayang.
Motor itu juga yang jadi alasan mengapa saya harus beli yang baru. Karena pernah ditilang, akibat dari lampu depan motor yang tidak menyala otomatis. Maka saya bertekat, mau beli motor yang lampu depannya menyala otomatis.
Ayah selalu berprasangka baik ke orang lain. Tidak pernah menganggap orang lain jahat. Semuanya baik dimata beliau.
Hanya satu, “Apa yang mereka tanam, nanti mereka tuai”.
Ayah bilang harus sabar. Tapi Ibu saya geregetan.
Sekarang motor itu hanya jadi rongsokan. Yang dijual hanya laku dua ratusan. Jadi saya dan adik saya menggunakan motor secara bergantian.
Hanya perlu legowo dan prihatin dengan keadaan sekarang. Semoga dibukakan pintu rezeki yang lain.
Banyak orang mengatakan, “Orang jahat terlahir dari orang baik yang tersakiti”. Seperti yang disimpulkan dari film Joker. Tapi tidak dengan Ayah saya.
Ayah saya tidak akan pernah menjadi Joker.