Karena Nila Setitik, Rusak Susu Sebelanga

Minggu depan saya akan melaksanakan UAS di perkuliahan. Disaat rekan kerja saya yang juga sesama mahasiswa sudah menyelesaikan UASnya, saya masih hari tenang menjelang ujian.

Hari tenang tidak setenang namanya, ada saja kejadian yang saya alami di masa-masa pendidikan ini.

Kita pasti pernah mendengar kalimat peribahasa ini, “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga”.

Nila adalah sejenis tanaman perdu yang daunnya dipergunakan sebagai zat pewarna tekstil. Sedangkan belanga adalah sebuah kuali besar yang biasanya terbuat dari tanah liat.

Tentu saja, jika pewarna tekstil dimasukkan ke dalam sepanci susu, meski sedikit, akibatnya susu tersebut menjadi tidak bisa diminum.

Sama halnya dengan cerita saya kali ini. Minggu depan kelas saya terancam tidak bisa mengikuti UAS dalam mata kuliah Administrasi Publik. Padahal ini adalah mata kuliah utama, karena saya ada dijurusan ini. Walaupun tidak terfokus dengan Administrasi Publik.

Saya ada di kelas shift. Kelas karyawan. Paling istimewa dibanding dengan yang lain. Jika minggu ini kerja shift pagi, bisa kuliah di malam hari. Jika minggu depan kerja shift malam, bisa kuliah di pagi harinya.

Mata kuliahnya sama dan jadwalnya sama, hanya beberapa pengajar saja yang dibedakan. Bisa dihitung, satu atau dua dosen.

Menurut cerita teman saya, yang sebagian besar kuliahnya pernah kena shift. Alias pernah malam, pernah pagi. Untuk pengajar di kelas pagi lebih killer atau galak dibanding dengan pengajar kelas malam.

Mungkin juga karena faktor waktu. Kalau pagi kan mestinya lebih semangat ketimbang malam hari yang sudah lelah karena seharian sudah beraktivitas. Makanya dosen kelas pagi, lebih semangat akibatnya dinilai terlalu galak.

Saya sendiri sih belum pernah kuliah pagi tuh. Makanya saya lebih santai.

Melanjutkan cerita, salah satu pengajar kelas pagi dalam mata kuliah yang saya sebutkan diatas. Itu terkenal dengan cara penyampaian materinya yang buat mahasiswa jadi dag dig dug tiap kali diajar.

Dia pengajar yang selalu menyebut dirinya dengan sebutan dosen miskin. Masuk ke kelas tidak pernah membawa laptop. Hanya membawa spidol dan absensi mahasiswa saja.

Sebelum pelajaran dimulai. Atau sebelum menjelaskan, biasanya beliau memerintah semua mahasiswanya membaca terlebih dahulu materi yang akan dipelajari hari itu. Tujuannya agar ketika dijelaskan dengan gambar ilustrasi semua diharap cepat mengerti.

Yang pada intinya beliau mendorong anak didiknya untuk gemar membaca, menggunakan logika dan nalar dengan baik.

Ketika mengadakan kuis pun beliau hanya memberikan dua pertanyaan melalui gambar atau bagan dengan jawaban minimal tiga halaman kertas folio. Jawabannya sendiri tidak ada digoogle. Semua ada di otak masing-masing. Menjabarkan dan menjelaskan sesuai dengan yang kita pikirkan ketika melihat gambar tersebut.

Karena cara mengajar beliau yang dinilai terlalu over. Dan karena faktor teman saya juga, yang notabenenya lulusan tahun sekian. Yang sudah kelamaan bekerja. Kemudian dihadapkan lagi dengan pelajaran. Semakin bebal lah otaknya.

Hingga pada tanggal 13 Desember 2018, lalu. Semua teman saya yang mestinya masuk kelas Admin Publik. Serentak tidak masuk kelas pagi, pindah ke kelas malam. Tidak ada yang ikut mata kuliah beliau.

Padahal dosen sudah datang dan menunggu dari awal jam pelajaran hingga selesai. Tidak ada satupun mahasiswa yang datang. Yang mau ikut mata kuliahnya.

Beliau marah dan kecewa.

Minggu depan kemudian, hanya ada tiga teman saya yang ikut mata kuliahnya. Mereka yang masuk kelas pagi saat itu jadi terkena imbasnya. Dapat omelan dan peringatan.

“Jika tidak ada pernyataan permintaan maaf dari semua mahasiswa kelas malam khususnya perpajakan. Terutama yang semestinya kemarin saya ajar. Maka nilai UAS untuk mata kuliah Admin Publik tidak akan saya berikan. Silakan minta nilai ke dosen yang lain. Saya tunggu kertas-kertas pernyataan kalian di akademik, sebelum UAS. Saya sebenarnya tahu, siapa saja yang mestinya saya ajar waktu itu.”

Akhirnya berita itu disampaikan dikelas malam. Semua yang pernah diajar dosen itu, saling menyalahkan satu sama lain.

Salah satunya mengatakan dengan nada kesal, “Gue pernah masuk kelas dia. Udah waktunya gue kerja, kaya biasa izin ke dosen mau berangkat kerja. Trus gue diginiin, saya heran sama kelas ini. Sebegitu istimewanya. VVIP banget. Baru setengah ngajar, kalian dengan enaknya izin mau berangkat kerja. Baru kali ini ada mahasiswa kaya gini. Cuma di kampus ini. Lah kan gue jadi bingung, yaudah gue masuk kelas malem aja kalo gitu.”

Kata yang lain, “Iya mestinya dia mikir, kenapa mahasiswanya kabur ga mau diajar dia.”

Kata saya, (dalam hati) “Iya gara-gara lu pada gue juga jadi ikutan nulis surat pernyataan. Satu kesalahan, kena semua imbasnya. Coba kalo yang biasa kelas malem ga ikutan nulis. Ga pada dapet nilai lu.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *