Gubuknya Gubuk Uangnya

Pagi ini saya awali dengan Bismillah. Semoga dilancarkan segala urusan hari ini. Dilancarkan perjalanan saya untuk liburan menikmati alam dan menikmati hal-hal yang tidak bisa saya lakukan di rumah sendiri.

Sebelum saya sampai di Kebumen, saya sudah request ke kakak sepupu saya. Memintanya untuk menemani saya mengisi waktu liburan saya di Kebumen. Salah satunya menyempatkan diri untuk berkunjung ke gubuk jamur dan melihat proses pembuatan gula jawa milik kakak sepupu saya.

Kakak sepupu saya ini mantan TKW Indonesia, yang diberangkatkan untuk kerja di Taiwan. Dikampung saya terbilang cukup banyak TKW, entah dikirim ke Singapura atau Taiwan. Kakak saya sudah bekerja menjadi TKW sejak tahun 2015. Dan sekarang dia pulang untuk usaha sendiri. Rumahnya cukup jauh dari rumah eyang saya. Dia tinggal bersama eyang saya. Rumahnya digunakan untuk usaha budidaya jamur dan usaha gula jawa nya.

Banyak yang saya tanyakan padanya, tentang bagaimana cara budidaya jamur tiram kesukaan saya itu. Yg saya tahu selama ini. Jamur itu tumbuh dari serbuk kayu yang dibungkus plastik hingga padat, dibolongi plastiknya lalu disemprot air, kemudian ditunggu sampai jamurnya tumbuh.

Ternyata bukan bgtu, kalau caranya memang seperti yang saya ketahui. Mungkin semua orang Indonesia punya usaha budidaya jamur ini. Mungkin. Jadi ketika saya berkunjung kesana. Ada banyak serbuk kayu didalam karung dan plastik pembungkus yang sudah diolah. Cara budidayanya cukup rumit, tapi hasilnya menguntungkan jika tidak gagal.

Langkah pertama, serbuk kayu di campur pupuk, kapur, dedeg dan air. Lima kandi (karung) serbuk kayu dicampur 1kg pupuk. Kemudian dibungkus plastik, isi hingga padat tidak boleh ada ruang sedikitpun karena bisa gagal panen.

Kemudian, serbuk kayu yang sudah dibungkus, direbus terlebih dahulu dalam tong minyak ukuran besar. Rebusnya bukan pakai kayu bakar. Pakai kompor mie ayam yang besar juga supaya ada perkiraan. Satu tong bisa diisi 200 bungkus serbuk kayu. Direbus selama 1 hari, atau sampai gas elpiji ukuran 3kg habis. Waktunya itu dari jam 06.00 – 22.00 WIB.

Setelah itu, angkat semua bungkus serbuk kayu yang sudah direbus kemudian ujungnya diberi bibit jamur.Bibit jamur ini rupanya jagung yang sudah berjamur juga.

Kemudian ditutup pakai koran. Dan baru boleh dibuka kalau serbuk kayu warnanya sudah putih seperti tempe.

Setelah satu bulan akan tumbuh jamurnya. Ukurannya kecil sekali. Kalau sudah tumbuh seperti ini baru boleh disemprot air dari jarak jauh. Dan suhu ruangan harus lembab. Tidak panas atau terlalu dingin. Makanya ruangan harus selalu basah dan becek.

Kalau berhasil, kita bisa panen jamur ini setiap hari selama satu hingga dua bulan masa panen. Jamurnya yang sudah siap panen wajib dan harus dipetik, kalau tidak jamur akan tumbuh semakin besar dan menjadi busuk. Biasanya konsumen komplain kalau ukuran jamurnya terlalu besar, karena jika ditimbang jumlahnya sedikit. Kira-kira seperti ini jamur yang boleh dipetik.

Cara panennya bukan dipotong tapi ditarik biasa hingga akarnya ikut tercabut. Satu bungkus bibit jamur ini tidak bisa sampai habis. Semakin hari, bungkus bibit jamur semakin menciut dan keriput. Dan tidak bisa produksi lagi.

Seperti itu lah kira2 prosesnya. Dan biasanya dijual Rp8.000 per kilogramnya ke tengkulak langsung. Kalau 2 rak bibit jamur bisa panen jamur sebesar kantong plastik ukuran jumbo. Dan bisa punya penghasilan Rp100.000 perhari kalau dibungkus Rp2.000 per ons ke pedangan sayur biasa atau langsung ke masyarakat. Sehari bisa panen dua kali, pagi dan sore. Kalau dijual di Bekasi bisa lebih banyak untungnya.

Ada juga usaha gula jawanya. Kebetulan dipekarangan rumah kakak saya ada banyak pohon kelapa. Jd sari bunga kelapa (air nira) bisa diambil sendiri. Panjat pohon sendiri. Satu hari bisa dapat 1 deregen, kalau pohon kelapa yg diambil niranya ada lima. Karena satu hari, biasanya 2 kali pengambilan pagi dan sore.

Kalau proses pembuatan gula jawa lebih gampang. Air nira yang sudah didapat. Direbus hingga menjadi karamel. Dan biasanya direbus pakai kayu bakar, supaya lebih wangi katanya.

Tapi prosesnya lumayan lama karena harus selalu diaduk. Kalau tidak bisa kering dan menggumpal di pinggir penggorengan nanti.

Disini dijual Rp10.000 per kilogramnya. Itu kalau dari pembuatnya langsung. Tapi kalau sudah masuk warung harganya tidak mungkin segitu.

Begitulah cerita liburan di kampung halaman ibu saya. Liburan sembari belajar lebih asyik daripada hanya sekedar pergi ke tempat wisata, menyenangkan mata setelahnya capek juga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *