Sudah satu setengah tahun saya menjadi mahasiswi. Pagi sampai petang jadi karyawati. Malam jadi mahasiswi. Tak terasa jika tahun ini saya akan duduk di semester 4 dan 5. Dimana banyak yang bilang, semester inilah para mahasiswa merasakan stres luar biasa.
Saya memang menunda kuliah selama satu tahun. Selain karena alasan financial, juga karena waktunya yang terburu-buru.
Dalam setahun itu ternyata bisa saya gunakan untuk menabung dan membeli beberapa kepentingan lainnya sebagai penunjang kerja saya. Saya sebut terburu-buru karena pada dasarnya saya ingin menggunakan waktu setahun itu untuk menikmati hasil keringat saya sebelum nantinya akan bertambah kegiatan baru yaitu kuliah.
Saya itu sebenarnya butuh me time. Butuh liburan.
Karena setelah ujian nasional selesai dilaksanakan, esoknya saya sudah langsung bekerja. Tidak ada jeda sehari pun. Tanggal 3 – 6 April 2017 dilaksanakan ujian nasional. Tanggal 7 April 2017, saya sudah mulai masuk kerja.
Setidaknya hal itu bisa saya ceritakan ke anak saya nanti.
Sulitnya menabung untuk modal kuliah sangat saya rasakan. Me time cuma jadi kadang-kadang bukan malah keseringan. Karena saya harus menunda kesenangan.
Kurangnya informasi terkait biaya pendaftaran dan biaya tiap semester menjadikan saya tidak punya patokan untuk menyisihkan uang tiap bulannya. Apalagi jurusan yang paling mahal bayarannya ternyata jurusan yang saya ambil, yaitu Administrasi Publik yang konsentrasinya pada Administrasi Perpajakan.
Selain karena banyak peminatnya, jurusan yang saya ambil rupanya juga bisa sampai pada pendidikan S1. Karena untuk perpajakan sendiri di Universitas lain rata-rata hanya bisa diikuti sampai dengan D3 saja.
Mengapa saya memilih mengenyam pendidikan S1 di jurusan Administrasi Perpajakan, sedangkan basic saya adalah IT?
Berawal dari pengalaman kerja saya selama satu tahun pertama yang diposisikan sebagai accounting. Sehingga sering dihadapkan dengan angka-angka, yang tidak lepas dari akuntansi dan perpajakan, membuat saya ingin mengetahui lebih jauh tentang ilmu tersebut.
Alasan lainnya muncul saat ada konsultan pajak yang membantu pelaporan pajak di perusahaan tempat saya bekerja. Yang ternyata dia itu rumahnya tidak jauh dari rumah saya.
Beberapa berkas untuk diaudit biasanya beliau minta. Dan untuk sampai ke beliau biasanya dititipkan ke saya.
Kami selalu janjian untuk bertemu jam 07.00 pagi di pertengahan antara rumah saya dan dia, sebelum saya pergi ke kantor.
Saat bertemu biasanya dia ditemani oleh ibunya dan anaknya sambil membawa belanjaan sayuran.
Pikir saya, “Enak juga ya, pagi-pagi masih bisa belanja sayur, sambil momong anak, terus bisa punya duit sendiri. Kerjanya tidak terikat di satu perusahaan saja. Hanya hitungan bulan bisa menghasilkan uang banyak. Ternyata enak kerja jadi konsultan pajak.”
Hal itulah yang akhirnya mengantarkan saya untuk terjun di jurusan Administrasi Perpajakan.
Semester 1 agak kaget karena mesti belajar dasar akuntansi 1. Dimana uang keluar harus dicatat dengan penjurnalan.
Semester 2, sama. Khawatir soal nilai yang berpengaruh untuk bisa naik semester. Pada semester ini saya hampir kalah. Namun kembali lagi dengan tujuan awal untuk melanjutkan pendidikan, karena saya memang ingin kuliah.
Semester 3, yang saat ini sedang berjalan. Semakin terasa sulitnya. Dari segi mata kuliah yang dipelajari hingga dosen-dosen yang semakin tidak jelas ketika menerangkan.
Mungkin bukan tidak jelas dalam menerangkan, bisa jadi karena saya sudah ngantuk dan rasanya ingin pulang ke rumah.
Tantangan tersulit menjadi mahasiswa reguler malam adalah menahan rasa ngantuk dan tetap fokus.
Maka ketika tantangan sulit itu datang, sangat diperlukan dosen yang baru ngajar sebentar ngajakinnya pulang terus. Hehehe😁
Saya kira jurusan pajak yang saya ambil benar-benar fokus pada pembahasan pajak saja. Ternyata tidak, semisal kita harus bisa menyusun laporan keuangan, purchasing, belajar ilmu politik, organisasi hingga administrasi publik yang berkaitan dengan pelayanan publik juga dipelajari.
Bukan hanya mata kuliah yang dirasa semakin sulit. Biaya kuliah yang mesti dibayarkan juga semakin banyak. Hehehe😁
Karena dari SD sampai SMK masuk sekolah negeri. Jadi tidak begitu banyak mengeluarkan uang.
Semenjak masuk kuliah di Institut swasta, sangat terasa kalau uang itu cepat habis. Karena biaya yang keluar tidak sedikit😂
Apalagi menjelang ujian, sudah ada alarm peringatan, saldo di rekening bakal habis banyak.
Pernah nggak sih, waktu mau bayar kuliah atau bayar sesuatu dengan jumlah besar merasa kalau uang kita seperti hilang blasss…. begitu saja? Padahal tanpa disadari, apa yang kita keluarkan hari ini dapat menunjang kita atau tabungan kita untuk masa depan?
Kalau iya. Berarti kita sama.
Kalimat yang sering terucap oleh saya ketika melakukan pelunasan biaya kuliah adalah, “Yahhh… duit gue ilang deh”
Seketika lemes, terus kepikiran.
Tapi ada satu rekan kerja saya. Mbak Indah. Yang selalu meyakinkan, bahwa uang yang saya keluarkan hari ini adalah untuk investasi pendidikan. Yang mungkin setelah lulus kuliah nanti, uang yang keluar banyak saat ini bisa kembali. Atau mungkin bisa jadi tabungan ilmu untuk anak-anak kita nanti.
Mbak Indah bisa bilang seperti itu, karena dia sudah melewati apa yang sedang saya jalani hari ini.
Dipikir-pikir benar juga. Penghasilan yang saya dapatkan selama bekerja rupanya tidak sepenuhnya habis untuk mengisi perut saja. Ternyata sebagian besar uang yang keluar itu sudah digunakan untuk membeli barang yang mungkin dulu mustahil bisa saya dapatkan. Uang yang keluar itu rupanya diinvestasikan. Bukan hanya investasi saham tapi juga pendidikan.
Banyak kakak sepupu saya yang lebih menyarankan saya untuk menikah muda. Menurutnya, kuliah itu percuma. Saya perempuan, kalau sudah nikah pasti di rumah. Mengurus anak, mengurus suami intinya mengurus rumah tangga. Jadi kuliah itu tidak diperlukan karena hanya buang-buang uang. Cukup cari suami yang punya pekerjaan tetap, punya rumah dan mobil.
Pemikiran seperti itu menurut saya sangat sempit.
Lagi pula memangnya laki-laki yang punya semua itu bisa menyukai kita hanya karena atas dasar rasa cinta? Tidak ada faktor lain? Mungkin saja iya, mungkin juga tidak.
Kemungkinan besar karena faktor lain. Entah itu dilihat dari tingkat pendidikan atau bisa cari uang sendiri.
Pengalaman jaman SMP dulu, mendekati ujian nasional biasanya diberi form tentang data diri. Mengisi dua pertanyaan tentang pendidikan akhir orang tua. Saya termasuk yang biasa saja. Karena kedua orang tua saya masih sampai di pendidikan SMA sederajat.
Tapi lihat teman yang pendidikan orang tuanya hanya sampai tamat SD. Pasti mereka malu, dan lebih memilih untuk diam. Apalagi yang pendidikan orang tuanya sampai ke tingkat S1 dan S2. Mereka bisa membusungkan dadanya.
Saya kuliah, berkat dorongan ibu saya yang gagal ingin kuliah dan lebih memilih menikah dengan ayah saya. Walaupun kadang merasa berat mengeluarkan uang yang sebegitu banyaknya, siapa sangka tahun ini saya akan naik ke semester 4 dan 5.
Toh dengan kuliah juga, pacar saya jadi merasa semakin takut kehilangan saya.
Emangnya mendidik anak nggak butuh pendidikan? Kan tetap butuh pendidikan juga.
Nggak ada yang percuma sih. Misalnya perempuan bisa sampai S2, S3 atau Professor terus karena keinginan, dia menjadi ibu rumah tangga. Pengalaman dan pendidikan yang dia dapatkan bisa menjadi tambahan wawasan dalam memberikan pendidikan buat anak.
Pendidikan formal memang bukan segalanya, tapi juga tidak lantas menjadi sesuatu yang sia-sia.
Tetap semangat, Fit.