Dibayar Lunas

Sudah satu setengah tahun saya menjadi pengguna MacBook Air. MacBook yang saya dapatkan di tahun 2017. Yang di bulan ini dan di tahun ini sudah sepenuhnya jadi milik saya.

MacBook ini saya dapatkan setelah delapan bulan bekerja. Sebelumnya saya menggunakan laptop biasa. Yang spesifikasinya jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang sekarang saya gunakan.

Awalnya beberapa rekan kerja saya semua sudah menggunakan MacBook ini. Mereka lebih mudah dalam bekerja, sedangkan saya harus bolak-balik charge laptop supaya tetap bisa bekerja. Buka beberapa folder, loadingnya lama dan harus dimatikan secara paksa.

Saya jadi bahan bercandaan salah satu rekan kerja saya, ketika saya mencoba menggunakan laptopnya. Karena perbedaan cara penggunaanya sangat jauh dengan laptop saya. Selain ringan, MacBook juga unik. Untuk memindah tampilan ke desktop lain hanya perlu menggunakan 3 jari diusap ditouchpad yang sensitif itu.

Dan saya lagi-lagi jadi bahan tertawaan. Saya berpikir, “Kalau saya punya apa bisa gunainnya ya?”

Terlalu elit untuk saya. Apalagi setelah saya tahu harganya. “Apa bisa saya punya barang mahal kaya gtu?”

Dulu pertama kali lulus, saya punya keinginan beli produk apel kegigit. Keinginannya tidak muluk-muluk, hanya ingin iPhone 5s. Yang waktu itu harganya sudah turun di angka Rp5.000.000,-. Menurut saya itu akan lebih mudah dan terjangkau oleh saya, ketimbang beli laptop yang harganya sama dengan harga motor matic.

Setelah saya coba untuk menyisihkan uang, untuk mewujudkan keinginan itu ternyata saya ada kendala. Bukan karena uang yang ditabung kurang, tapi karena ketidak-ikhlasan kalau saya harus gunakan uang yang sudah ditabung itu untuk sekedar beli iPhone. Yang sebenarnya di tahun yang sama pun akan diterbitkan kembali produk terbarunya.

Lebih baik untuk beli Android biasa, sisa uangnya bisa untuk yang lain.

Awalnya saya tidak tahu, akan ditawarkan ganti laptop mahal itu. Beberapa rekan kerja memberikan saya clue, tiap kali melihat laptop saya yang berwarna hitam itu, mereka bilang “Besok berubah ini jadi tipis”.

Tidak lama, saya dipanggil oleh pak Boss untuk menemuinya. Saya dijelaskan terkait pengadaan laptop mahal itu *ejiyehhh

Dari mulai harganya, diperlihatkan bentuk laptop yang akan dibeli nanti, dan bagaimana cara membayarnya.

Rupanya di Excellent diberikan keringan untuk mendapatkan barang mahal ini, yang mungkin tidak bisa diperoleh di perusahaan lain.

Ketika saya mendapatkan pertanyaan penawaran laptop tersebut, saya seperti tidak percaya bahwa sebentar lagi saya punya barang mewah itu, yang mahal logonya, yang dominan dimiliki orang-orang kaya, yang harganya belasan juta, yang ringan dibawa, awet baterainya, ya pokoknya yang namanya MacBook Air.

Saya ingat betul pertama kali barang itu sampai. Kebetulan waktu itu sedang dilaksanakan training di Markas Excellent. Dan waktu itu, bukan jadwal saya. Ada pesan dari Pak Boss via telegram. Si Boss bilang, “MacBooknya sudah sampai, dan mau diambil kapan?”

Tanpa mengulur waktu, saya segera datang ke Markas Excellent. Ada dua kotak pembungkus MacBook berjajar, ada kotak yang masih bagus dan kotak yang sedikit penyok.

Pak Boss memberi saya kotak yang sedikit penyok. Padahal bukan itu yang saya mau. Tapi pak Boss memberi saya kesempatan untuk memilih, toh katanya sama saja. Akhirnya saya pilih kotak yang paling bagus.

Saya buka kotak pembungkus itu. Melihat logo apel saya masih tidak percaya. Bagaimana bisa, iPhone yang ukurannya kecil dan masih terjangkau harganya belum bisa dibeli, sedangkan saat itu saya sudah bisa bawa pulang MacBook Air.

Setelah di unboxing saya coba instal dan mempelajarinya, sebelum akhirnya saya bawa pulang ke rumah dan memperlihatkannya kepada Ayah dan Ibu saya.

Perasaan senang dan tidak menyangka itu ada, apalagi ketika Ayah saya kaget melihat tipisnya  laptop baru saya itu. Beliau heran, kenapa bisa setipis itu, sedangkan laptop yang biasa saya gunakan bisa setebal itu.

Satu minggu saya menggunakan MacBook itu, dan baru sadar adanya cacat fisik di pinggir layar laptop. Lapisan besinya seperti terbuka. Kemudian dibeberapa bagian terdapat den, seperti habis terbentur benda padat.

Saya lapor ke Pak Boss. Beliau bilang harus ditukar yang baru. Mumpung masih ada garansinya. Akhirnya saya bungkus kembali MacBook saya itu.

Dan ternyata kotak yang bagus itu isinya tidak sempurna. Sedangkan kotak yang sedikit penyok, yang sebelumnya diberikan saya itu yang isinya sempurna. Karena pikir saya waktu itu, kotaknya penyok takut isinya ikut penyok. Ternyata tidak. Kotak yang paling bagus lah yang ternyata ada cacat produksi.

Makanya jangan lihat sesuatu dari covernya.

Saya kembali menggunakan laptop yang sebelumnya. Dan menunggu penggantinya. Padahal waktu itu sudah masuk cicilan pertama saya *Eeehhhhh

Seminggu kemudian sampailah laptop pengganti saya. Laptop yang saya gunakan setiap hari. Satu bulan, dua kali ganti laptop. Kan hebat?

Dan saat ini statusnya sudah lunas. Berkat bantuan Excellent, boleh cicil sampai lunas. Kalau saya tidak nyicil itu laptop pasti sulit kebeli. Saya bisa saja menabung dan beli itu secara cash. Tapi pasti kejadiannya sama seperti ingin membeli iPhone. Sayang uangnya. Secara mahal-mahal, mengeluarkan uang belasan juta hanya untuk beli laptop.

Lagi pula seandainya saya ke iBox pun, pasti saya ditawarkan cicilan sama karyawannya?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *