Bulan April 2019. Bulan yang saya tunggu-tunggu sejak Maret 2018. Tahun lalu.
2018. Tahun lalu itu saya pesan tiket promo maskapai penerbangan AirAsia rute CGK-SIN-CGK. Awalnya karena ikut-ikutan teman sekantor yang berburu tiket untuk keberangkatan tahun depan, yaitu 2019. Murah. Hanya dengan menjadi member dari program maskapai tersebut.
Beberapa teman saya memilih rute CGK-KUL-CGK, dengan masa liburan 4 hari, dimulai dari hari Rabu – Sabtu. Saya pun begitu. Yang membedakan adalah negara yang akan saya kunjungi.
Sebelumnya beberapa teman saya mendapat tiket pesawat seharga Rp400.000, untuk penerbangan ke Malaysia, harga tersebut sudah termasuk tiket pulang pergi. Murah kan? Makanya saya tergiur.
Berkat paspor yang saya buat di tahun 2017 itu juga, akhirnya saya ada keinginan untuk mencoba pergi keluar negeri.
Melihat peta antara Singapore dan Malaysia, saya lebih pilih Singapore. Alasannya :
1. Tiket penerbangan ke Malaysia waktu itu sudah sold out
2. Pergi ke Singapore lebih cepat sampai dibanding perjalanan ke Malaysia. Yang ada dipikiran saya, jika waktu perjalanannya sebentar berarti bisa dapat harga lebih murah dari tiket pesawat ke Malaysia yang Rp400.000,- itu.
3. Yang saya lihat Singapore itu lebih mewah, luar negeri banget. Dibanding dengan Malaysia yang seperti Indonesia. Biasa saja. Tidak menarik.
Beberapa asumsi saya keluarkan. Perbandingan antara kedua negara tersebut juga menjadi pertimbangan saya. Dan akhirnya, yang saya pilih tetap Singapore. Walaupun malam itu saya masih berharap ada tiket penerbangan ke Malaysia yang tersisa.
Kata teman saya, “Kalo lu nggak dapet tiket promo ke Malaysia, coba besok pagi aja, kali ada.”
Karena kalimat itu, akhirnya saya harus pasang alarm supaya bisa bangun di jam 00.00.
Saya cek kembali. Ternyata benar, tiket ke Malaysia sudah habis. Saya buru-buru pesan tiket ke Singapore. Saat itu masih tersisa 3 seat. Saya pesan untuk 2 orang. Untuk saya dan teman (dekat) saya itu.
Pokoknya saya beli 2 tiket untuk 2 orang, pulang pergi CGK-SIN-CGK dengan total harga keseluruhan tiket sejumlah Rp1.289.000,- . Berarti per orang dikenakan biaya sekitar Rp600.000,- untuk perjalanan pulang pergi.
Kebetulan juga waktu itu saya baru terima gaji. Jadi saya bisa langsung pesan tiket. Ditambah saya sudah punya kartu debit Jenius. Jadi bisa langsung bayar, tanpa harus pergi ke Indomaret di jam tersebut.
Setelah menerima kode booking, saya pamer ke ibu saya. Ibu saya marah dan bilang, “Ngapain beli-beli tiket mahal, segala mau keluar negeri. Emang kesana nggak butuh uang. Disana kan mahal. Nanti jadi gembel gimana? Di deportasi, nggak boleh keluar negeri lagi. Gimana?”
Saya jawab, “Kan keluar negerinya masih tahun depan, jadi bisa ngumpulin duit dulu biar nggak jadi gembel.”
Saya ingat betul kalimat Ibu saya itu. Ibu memang lebih sensitif kalau anaknya bepergian jauh. Dibanding dengan Ayah saya yang selalu mengizinkan jika saya mengunjungi tempat baru.
Ibu saya galak, tapi kalau anaknya pergi jalan-jalan jauh nggak pakai helm, Ibu juga khawatir. Ayah saya pendiam, tapi geregetan kalau lihat anaknya jadi penakut. Makanya kalau saya ingin pergi ke kota-kota besar dan dilarang Ibu. Ayah saya lah yang jadi penyelamatnya. Membujuk Ibu supaya saya diizinkan pergi jalan-jalan.
Ayah bilang, “Kalau terus melarang anak, nanti anaknya jadi penakut. Biarin aja anaknya jalan-jalan. Biar jangan takut ketemu orang. Biar dia berani nanya orang. Jangan dilarang. Nanti dia ga bisa bersosialisasi.”
Sama seperti tulisan Prof. Renald Kasali dalam bukunya “30 Paspor Di Kelas Sang Profesor”.
“… jutaan manusia Indonesia sangat takut “menjelajahi” dunia baru yang sama sekali belum dikenalnya.
Ya, kita semua telah berubah menjadi manusia yang terperangkap dalam zona nyaman masing-masing, senang mengarungi jalan yang sama, berlibur ketempat yang sama.
Tanpa kita sadari sebenernya kita terperangkap dalam kenyamanan yang sesungguhnya mencerminkan kemalasan berpikir belaka.
Bayangkan kalau Columbus tidak berani menjelajahi dunia baru dan kesasar, mungkin saja Benua Amerika baru ditemukan beberapa abad kemudian dan sejarah yang kita jalani hari ini akan berbeda sama sekali.
Bepergian ke tempat baru, dengan informasi, uang, waktu dan pengetahuan terbatas sesungguhnya bisa mengubah nasib manusia.”
Makanya diawal saya masuk ke Excellent, si Boss pernah tanya “Fitra kalau dikirim sendirian ke Jakarta, berani nggak?”
Dengan nada biasa saja, saya malah menjawab “Nggak berani Boss”.
Kemudian pak Boss jawab lagi, “Harus berani dong, nggak boleh takut ya.”
Benar saja prjalanan saya yang sendirian itu dimulai dari dikirim ke klien yang ada di Gondangdia, Jakarta Pusat. Kemudian Setia Budi, Jakarta Selatan. Dimana pada saat itu adalah pertama kalinya saya naik KRL sendiri dan pertama kali naik Gojek.
Kemudian diberikan kesempatan lagi dengan mendapat undian jalan-jalan ke Wonogiri, Malang, Klaten dan Kebumen. Disini juga pertama kalinya saya merasakan naik pesawat dan jalan-jalan kedaerah yang jauh dari planet Bekasi tanpa orang tua.
Dari perjalanan tersebut saya mendapat banyak pembelajaran dan biaya pembelajaran.
Maksudnya ketika saya tidak tahu bagaimana cara naik pesawat, berkat perjalanan tersebut saya jadi punya pembelajaran, kalau di bandara sebelum naik pesawat harus gimana. Kemudian biaya pembelajaran, saat perjalanan saya dari Malang – Batu naik ojek pangkalan dengan harga ratusan ribu. Yang padahal kalau naik gojek hanya puluhan ribu.
Dan sekarang saya harus memanfaatkan dan menggunakan paspor yang sudah dibantu buatkan dengan disubsidi Excellent untuk pergi keluar negeri.
Paspor adalah tiket untuk melihat dunia. -Prof. Renald Kasali
Dan disini juga pertama kalinya saya pergi keluar Pulau Jawa.
Semua itu berjalan mengalir. Di 2017, saya punya paspor dan debit Jenius. Di 2018, saya punya tiket keluar negeri. Serta pembelajaran yang saya dapatkan berkat perjalanan keluar kota itu, bahwa saya harus berani. Dan di 2019, tahun ini saya melakukan perjalanan yang sebenarnya sudah disiapkan dua tahun sebelumnya.