Ke Pasar Ingin Berkata Kasar

Di hari libur biasanya saya menyempatkan diri pergi berbelanja ke pasar tradisional. Kebetulan karena di minggu depan ada kegiatan pergi jalan-jalan jadi ada beberapa perlengkapan yang mesti saya beli.

Seperti biasa tetangga depan rumah saya pasti menitip beli sayuran dengan uang pas-pasan. Kali ini rinciannya beli labu siam, cabai merah dan ikan teri asin. Dikasih uang Rp10.000, ya mau nggak mau harus cukup.

Karena sudah lumayan siang, beberapa tukang sayur langganan sudah mulai habis barang dagangannya. Beli seadanya yang masih bisa dibeli. Untung sayurannya yang dituju masih ada. Dibeli lah oleh ibu saya, labu siam dan cabai merah. Total belanja Rp5.000.

Masih ada Rp5.000, cukup untuk beli ikan teri. Karena tujuan saya ke pasar kali ini bukan untuk belanja sayuran tapi belanja pakaian. Jd saya beli dulu pesanan tetangga saya itu.

Menuju tempat jual ikan asin. Di pasar dekat rumah saya itu ada 3 tempat yang menjual ikan asin. Kami datang ke salah satunya.

Yang jualan itu suami istri. Selain ikan asin mereka juga jual tahu dan tempe. Si suami biasa melayani yang beli tahu tempe. Si istri biasa melayani yang beli ikan asin dan kawan-kawan. Saya lihat barang dagangannya juga masih banyak.

Sampai-sampai ada ikan teri yang warnanya sudah sangat kuning pucat dan mulai hancur.

Ibu saya mulai bertransaksi.

Ibu saya bilang, “Pakde ikan teri yang ini (nunjuk yang bagus) lima ribu aja.”

Si penjual bilang, “Se-ons aja ya”

Kata ibu saya, “Emang se-ons nya berapa?”

“Rp8.000”, kata si penjualnya lagi

Ibu saya bilang lagi, “Nggak Pakde, ini titipan orang soalnya.”

Ibu saya kekeh mau yang ikannya bagus. Akhirnya si penjual tadi memanggil istrinya.

Istrinya datang, “Beli apa?”

Ibu saya kembali menjelaskan, “Beli ikan ini Bude lima ribu aja, sedapetnya, dikit gapapa soalnya titipan orang.”

Si suami nyeletuk sambil nunjuk ikan teri yang paling jelek, “Udah tuh kasih itu aja bu, jangan yang itu”.

Sama si istri dibungkus yang lain, yang kepalanya sudah misah-misah dan warnanya butek. Lebih jelek dari yang ditunjuk suaminya.

Sambil bungkus itu si istri bilang, “Udah ini aja.” Sambil kasih bungkusan ikan teri itu tanpa plastik pembungkus lagi dan pasang muka jutek.

Ibu saya cukup diam dan langsung pergi meninggalkan tempat itu. Menurut saya cara memperlakukan pembeli seperti itu malah membuat jengkel dan malas untuk berkunjung lagi ke tokonya.

Kalau memang tidak dapat Rp5.000. Kan harga per-ons nya saja Rp8.000. Kalau di persentasikan, seharusnya ibu saya dapat 65% nya.

Ikan teri itu kan ringan. Kalau beli 1 ons saja bisa untuk dimasak dua kali.

Sama seperti saya, kalau siang beli makan di warung nasi. Beli sayur harus Rp5.000 padahal makannya tidak seberapa, tidak banyak. Kalau beli Rp3.000 nggak boleh, nggak dikasih. Padahal sayur kangkung.

Dulu ibu saya jualan lontong + gorengan. Ayah saya yang bawa ke tempat kerja. Kan banyak karyawan yang lapar. Kadang bawa uang kadang nggak bawa uang. Tiap Ayah pulang kerja pasti setor ke Ibu. Uangnya selalu kurang. Waktu ditanya kemana uangnya. Ayah jawab, “Tadi anak-anak di kerjaan laper. Yaudah biarin aja dimakan dulu. Bayarnya besok.”

Kan nggak tau, barang kali dia kepengen makan uangnya kurang atau nggak ada kan. Kalau nggak dikasih juga kasian.

Dalam hal beli ikan teri ini, sebenarnya bisa saja ibu saya menomboki dulu untuk beli ikan teri itu. Tapi karena faktor kebiasaan ibu saya suka dititip barang belanjaan. Dan kalau ada yang uangnya kurang biasanya ibu saya tomboki dulu. Tapi hampir setiap hari juga menitip kemudian lupa bayar uang kekurangan belanjaan sebelumnya. Akhirnya ibu saya malas juga kalau begitu caranya. Jadilah beli seada-adanya.

Karena kan kalau nagih uang entah itu Rp10.000 atau Rp5.000 bakal jadi omongan tetangga nantinya.

Sudah jengkel dengan tukang ikan teri itu. Ibu saya ada keinginan ingin membuat bubur kacang ijo. Butuh santan.

Jaman sekarang banyak santan dalam bentuk kemasan. Tapi selain mahal dan kurang enak, ibu saya tetap memilih beli santan dari kelapa yang baru diparut.

Di pasar itu semua tukang kelapa parut sekarang punya mesin tambahan yaitu pemeras santan. Kalau mau langsung disantan ada uang tambahannya.

Ibu saya pesan satu buah kelapa tua, diparut kemudian minta langsung diperas jd santan.

Jawaban si penjual, “Beli satu aja males meres. Beli kemasan aja, kan banyak langsung jadi”.

Ibu saya langsung nyeletuk, “Nggak jadi disanten, parut aja.”

Saya jadi ikutan ingin bilang, “Woy emang yang meres elu, kan yang meres mesin. Lagian gue juga bayar kali, emang gue bayar jasa marut doang.”

Sambil lempar singkong yang ada di depan saya ke mulut dia yang lemes itu.

Tapi kalau dipikir-pikir penjual jenis-jenis mereka itu akan sendirinya bakal tergusur. Ya gara-gara perlakuan mereka-mereka itu ke pembeli. Entah itu barang dagangnya jadi nggak laku. Sepi pembeli. Dan sebagainya.

Beda kalau belanja di Supermarket. Ambil sana-sini bayar sesuai harga tidak ada saling jengkel.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *