Toleransi Beragama Dalam Keluarga

Hidup dalam perbedaan, baik itu berbeda agama, suku, budaya dan ras adalah hal menarik. Disamping kita harus saling menghormati satu sama lain, ada juga beberapa keuntungan. Contoh biasanya, tanggal merah (libur nasional) pada kalender yang ditetapkan sebagai hari raya umat beragama. Seperti, Hari Raya Idul Fitri, Nyepi ataupun Natal. Waktu tersebut bisa dimanfaatkan bagi mereka yang merayakan untuk berkumpul bersama keluarga atau waktu untuk berwisata bagi mereka yang tidak merayakan.

Bisa diakui bahwa saya berada dalam garis keturunan suku Jawa.

Walau saya lahir di Jakarta dan besar di Bekasi dengan lingkungan keluarga berasal dari suku Jawa. Maka, saya bisa disebut sebagai orang Jawa.

Jelas, saya kan tinggal di Pulau Jawa?

Saya suka bingung saat ditanya teman atau orang lain dengan pertanyaan seperti ini “Orang mana?

Pernah sesekali saat saya ditanya, dengan pertanyaan tersebut.

Saya jawab, “Orang Bekasi.

Dia bilang, “Oh… asli Bekasi.

Saya jawab, “Bukan asli Bekasi. Saya lahir di Jakarta, besar di Bekasi, orang tua asal Jawa Tengah

Dia bilang lagi, “Owww.. kalau begitu berarti kamu itu orang Jawa.

Ya OK kan saja lah. Saya sendiri juga bingung menjawab pertanyaannya.

Saya memiliki keluarga yang tidak seluruhnya berasal dari suku Jawa. Dan tidak seluruhnya beragama Islam.

Tanggal, 25 Desember 2018. Dua hari yang lalu. Saya pergi kerumah Bude saya di Cipinang. Tempat ibu saya tinggal dulu saat pertama kali merantau ke Jakarta.

Bude saya itu memang merayakan Hari Raya Natal. Beliau seorang Nasrani yang taat.

Pernah ibu saya bercerita, waktu masa mudanya dulu. Biasalah, punya pacar. Pacarnya itu anak Tuan Haji. Disiplin agama.

Diantarlah ibu saya, pulang kerumah Bude saya itu. Dibukakan pintu. Pacarnya kaget. Melihat salib ada didalam rumah.

Sepulang dari mengantar ibu saya itu pacarnya sudah tidak ada kabar lagi. Mengira ibu saya seorang Nasrani. Dia kirimkan surat cinta terakhir ke ibu saya. Ibu saya tidak membalasnya.

Malah sekarang nama pacarnya itu jadi nama adik bungsu saya.

Bude saya itu juga bukan orang Jawa. Beliau orang Dayak. Kalimantan. Makanya saat kumpul keluarga seperti ini, tidak ada yang dipanggil Bulek/Tante Mbah/Nenek. Anak cucunya semua panggil Mina (Tante) dan Tambi (Nenek) dalam bahasa Kalimantan.

Kok bisa dipanggil Bude? Yaiyalah, dia istri Pakde saya. Pakde saya yang asli Jawa.

Tidak ada kata orang Jawa harus menikah dengan orang Jawa pula.

Saat menikah dulu, Pakde saya yang pindah agama. Ikut Bude saya. Makanya sekarang, ada perbedaan di keluarga besar saya.

Perbedaan itu yang menyambung tali silaturahmi kami. Saat saya merayakan Hari Raya Idul Fitri, Bude yang datang kerumah saya. Saat beliau merayakan Natal, saya yang pergi ke rumahnya walaupun tak mengucapkan selamat.

Seandainya pun dulu pacar ibu saya tidak melihat perbedaan itu, mungkin juga saya tidak ada disini. Apalagi menulis cerita ini. Karena ibu saya berhasil menikah dengan pacarnya itu. Bukan dengan Ayah saya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *