Bersyukur Mendapatkan Pekerjaan

Setelah berusaha mendapatkan sesuatu, kadang kita melupakan suatu hal. Bersyukur.

Contoh bersyukur bukan hanya ketika kita mendapatkan rezeki lebih.

Bersyukur masih diberi nikmat bernapas hari ini. Bersyukur bisa makan enak hari ini. Bersyukur bisa bertemu teman-teman hari ini.

Bersyukur diberi nikmat sehat sehingga bisa melakukan hal-hal diatas. Dan semuanya yang mestinya kita syukuri.

Bersyukur mendapatkan pekerjaan. Ini salah satu contoh bersyukur yang akan saya bahas.

Saya kuliah dikelas karyawan. Istimewa. Jika telat ada toleransi. Alasannya “Saya baru pulang kerja”.

Rata-rata teman saya buruh pabrik. Yang curi-curi waktu supaya bisa tetap kuliah.

Bingung saat ada pilihan lembur atau kuliah?

Pilih lembur, uangnya bertambah. Biaya kuliah mudah dilunasi.

Pilih kuliah, uang tambahan hilang dan terancam tidak diperpanjang kontrak.

Mereka sering mengeluh lewat cerita-ceritanya. Bingung harus pilih yang mana. Akhirnya mereka pilih lembur, agar ada harapan bisa diperpanjang kontrak kerjanya. Biaya kuliah bisa dilunasi, hanya saja banyak ilmu yang tertinggal. Seperti kuliah hanya mengejar supaya punya gelar.

Sedangkan saya, saya lembur dihari tertentu saja. Di hari Sabtu atau Minggu saat ada training atau event tertentu. Jadi, kuliah saya tidak terganggu dengan kegiatan pekerjaan yang lain.

Dikejadian lain. Mereka menceritakan bagaimana mereka bekerja setiap hari.

Kata si A, “Aku kerja dibagian admin gudang, setiap hari check beberapa barang yang masuk dan keluar. Nggak ada surat jalan, terus barangnya lolos bisa kena omel atasan. Dimaki-maki depan karyawan yang lain.”

Kata si B, “Aku kerja di pabrik minuman, bagian pengecekan. Setiap hari perhatiin botol minuman yang lewat. Ada barang yg bocor, bentuk botolnya jelek atau tutup botolnya nggak sempurna harus disingkirkan. Setiap hari juga, tiap satu jam 1.000 botol lewat depan mata ku. Dan aku harus teliti.”

Kata si C, “Aku mah Sabtu Minggu masuk ceu, liburnya Senin. Kan kita mah SPG orang libur kita tetep teriak-teriak, yang penting jualan. Orang masuk kerja, kita libur. Gantian.”

Kata si D, “Make up ku sudah habis. Jadi SPG make up, tapi alatnya nggak disponsorin. Jangankan disponsorin, disubsidi aja nggak. Giliran minus, gajinya dipotong.”

Kata si E, “Kita mah masih nganggur. Udah cari kesana kemari. Udah lulus test, eh nilai matematikanya kurang. Minimal 6,0 aku 5,6. Udah kerja di tiga PT tapi nggak ada pengangkatan karyawan. Akhirnya umur semakin tua, susah cari kerjaan karena usia tidak memenuhi kriteria.”

Yang sering mereka keluhkan adalah jarak dari rumah dengan tempat kerja. Yang sebegitu jauhnya, dan sebegitu mumetnya jika sudah terjebak macet dijalan. Katanya, “Udah keburu ngantuk duluan kalo mau kerja. Kelamaan dijalan. Apalagi kalo kena shift malam.”

Sedangkan saya, kerja duduk nggak berdiri seharian. Bisa makan saat kerja. Semua disubsidi. Makan enak setiap Jum’at. Diberi waktu refreshing (bonus diongkosin). Bisa kuliah tanpa pilih kalau lembur nggak kuliah, kalau kuliah diomelin gara-gara nggak lembur.

*Jangan disebutin semua, nanti yang baca iri hihihi

Dan yang lebih sedih lagi. Sudah ada dua teman angkatan saya, khususnya dijurusan saya, mahasiswa dikelas saya. Yang mengundurkan diri karena faktor biaya dan waktu yang tebatas.

Dan saya lebih beruntung dari mereka. Alhamdulillah?

Syukuri pekerjaan kita hari ini, masih ada ribuan orang dibelakang kita yang mengantre. Menanti dan menginginkan posisi kita saat ini.

Si Bungsu Tumbuh Saat Kita Dewasa

Sudah tiga hari terakhir saya merasakan nyerinya sakit gigi hingga nyeri sampai ke telinga. Ini pertama kalinya.

Sakit gigi ini diakibatkan bukan karena berlebihan makan yang manis-manis kemudian jarang sikat gigi sehingga menimbulkan gigi berlubang dan infeksi akibat menyimpan banyak bakteri.

Sakit gigi yang saya alami adalah karena tumbuhnya gigi geraham belakang atau biasa disebut dengan gigi bungsu.

Saya baru paham bahwa kalimat “Lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati” itu adalah bohong. Kalau saya, nggak pilih dua-duanya.

Sama-sama nyakitin.

Terlebih lagi kalau sakit gigi kemudian ada suara kebisingan rasanya ingin marah-marah saja tapi sulit berbicara. Kan kesel.

Gigi bungsu adalah gigi terakhir yang biasa tumbuh saat kita dewasa, kisaran umur 9-24 tahun. Makanya diusia saya yang ke 19 tahun ini baru tumbuh lagi, menyempurnakan jumlah gigi orang dewasa. Yaitu 32 gigi.

Gejala yang biasanya dialami adalah gusi tempat tumbuhnya gigi membengkak, rasa nyeri dibagian rahang, bahkan bisa sampai demam. Seperti yang saya alami akhir-akhir ini.

Ibu saya membawa saya berobat ke dokter spesialis gigi. Dokter bilang itu normal, saya hanya disarankan minum obat paracetamol sebagai pereda nyeri dan penurun suhu badan yang panas.

Terbayang jika dulu selagi masih bayi, saat tumbuh gigi hanya bisa menangis karena diusia sekarang pun jika dirasakan memang sakit.

Orang-orang disekitar bilang coba kumur-kumur pakai air garam. Itu tidak mempan untuk saya.

Coba ditempel daun jambu biji, siapa tahu ulatnya keluar.

Lah wong saya sakit gara-gara tumbuh gigi bukan karena jorok jarang sikat gigi?

Berbagai saran diusulkan. Tetap saja rasanya nyeri, jika efek obat sudah mulai menghilang.

Napsu makan saya ikut menghilang sementara ini, walau banyak yang tidak percaya.

Untunglah ibu saya baik. Kalau anak sakit tidak cocok masakan rumah, ibu siap membeli makanan di luar, apapun yang anaknya minta. Supaya perutnya terisi.

Padahal yang saya rasa, sama saja. Tidak enak.

Seingin apapun makan ini itu, jika sedang sakit rasa enak makanan tidak seenak saat menyantap di waktu sehat.

Itu salah satu nikmat sehat.

Yang Saya Dapat Hari Ini

Saya terlahir dari keluarga sederhana. Ayah saya bekerja sebagai buruh pabrik, sedangkan ibu saya hanya ibu rumah tangga. Setiap hari Ayah bekerja pulang pergi dengan rute Bekasi – Bogor. Ibu mengurus rumah tangga, dari belum terbit matahari hingga terbenam matahari, itu juga masih belum berhenti aktivitas kalau semua anaknya belum tidur.

Dulu sebelum saya bekerja, untuk memenuhi kebutuhan hidup hanya dengan mengandalkan pendapatan bulanan dari Ayah.

Saya anak sulung dari tiga bersaudara. Anak pertama, yang punya dua adik.

Setelah lulus SMP, cita-cita saya ingin melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri favorit jurusan IPS, karena saya menyukai pelajaran sejarah. Saya lebih suka menghafal daripada berhitung.

Tapi Ibu saya bilang, “Jurusan IPS itu pilihan kedua, kalau nggak dapet jurusan IPA. Cuma kamu yang niat dari awal, mau masuk jurusan IPS.

Tetapi keinginan saya harus ditunda. Karena Ayah dan Ibu, meminta saya untuk coba ikut seleksi masuk SMK Negeri.

Kebetulan sekolah yang saya pilih masuk ke daftar sekolah favorit. Yang katanya setelah lulus bisa langsung dapat pekerjaan.

Dan alhamdulillah, saya bisa lolos dan lulus dalam seleksi tersebut.

Saya tahu tujuan kedua orang tua saya, supaya setelah lulus saya bisa langsung membantu perekonomian keluarga.

Jalan Kaki Berhadiah Motor

Saya ingat betul pertama kali masuk sekolah. Waktu itu saya belum punya kendaraan. Saya harus berjalan kaki untuk sampai ke sekolah. Sekitar 4 KM jarak dari rumah ke sekolah.

Berangkat lebih pagi, setelah sholat subuh. Masih gelap.

Saya masih harus menyebrangi rel kereta api. Menunggu beberapa kereta melintas. Kemudian saya juga masih harus menyebrangi jalan raya. Melangkah maju kemudian mundur lagi, karena banyak kendaraan melintas tak mau mengalah memberi jalan untuk saya. Hingga kadang saya menunggu bantuan orang lain, untuk membantu saya menyebrangi jalan besar itu.

Saya selalu menjadi siswa pertama yang sampai disekolah. Saat penjaga sekolah masih sibuk membersihkan ruang kelas, menyapu halaman sekolah, menyiram tanaman dan sebagian masih ada yang mandi.

Lokasi sekolah saya ada di dalam komplek perumahan. Dan teman-teman sekelas saya pun termasuk anak golongan elit. Biasanya mereka menyebut dirinya sendiri dengan nama “Borju”. Kelompok borjuis. Yang berangkat ke sekolah naik motor besar atau motor mahal. Jajan diatas Rp25.000,-per hari. Dan pakai sepatu logo terkenal.

Pagi itu, seperti biasanya saya berangkat ke sekolah jalan kaki. Ditengah perjalanan menuju sekolah, terdengar suara deruman motor besar berulang kali disamping saya.

Saya menengok kesamping. Ternyata itu ketua kelas saya, yang mengendarai motor ninjanya.

Pada saat pergantian jam pelajaran, ketua kelas saya itu bertanya kepada saya didepan kelas.

Fitra lu ke sekolah jalan kaki?

Saya jawab, “Iya emang kenapa? Mau boncengin?

Dia bilang, “Nggak, rajin banget pagi-pagi jalan kaki” (nadanya seperti mengejek)

Saya jadi minder karena ucapannya. Keesokannya saya berangkat dari rumah lebih pagi lagi, supaya tidak bertemu ketua kelas saya itu. Dan ternyata berjumpa lagi dijalan yang sama.

Memang tidak bisa dibohongi, jalan kaki lebih pagi dengan berangkat naik motor ninja dijam biasanya. Kecepatannya sama. Seharusnya waktu itu saya lari, bukan jalan kaki.

Kemudian, dia keraskan suara motornya ketika berpas-pasan dengan saya. Saya tidak mengerti apa maksudnya, entah dia menyapa saya atau mengejek saya.

Dan setiap pulang sekolah, saya selalu diantar sampai rumah oleh keempat teman saya.

Supaya saya irit, tidak perlu pulang naik angkot. Keempat teman saya itu memang baik sekali.

Padahal setiap pagi, ibu saya selalu menyempatkan diri untuk memasak. Agar saya bisa bawa bekal makanan. Supaya saya tidak jajan, jadi saya bisa pulang naik angkot tanpa harus jalan kaki lagi.

Kegiatan itu tidak berlangsung lama. Tiga bulan selanjutnya, saya sudah bawa motor sendiri.

Sore itu, saya lihat ada motor terparkir di teras rumah.

Saya tanya ibu saya, “Motor siapa itu bu?

Ibu saya bilang, “Motor untuk kamu. Besok pagi kamu nggak perlu jalan kaki lagi ke sekolah. Itu untuk kamu.

Saya lihat, tidak ada lagi kalung melingkar di leher ibu. Saya tahu, ibu menjual kalungnya untuk beli motor second itu. Supaya anaknya tidak capek lagi berangkat ke sekolah. Supaya anaknya tidak lagi merepotkan orang lain, untuk mengantarnya pulang ke rumah.

Tapi sekarang, saya sudah bisa beli motor sendiri. Setelah sekolah jalan kaki. Setelah lulus dan bekerja saya bisa beli itu. Dan pastinya bayar sendiri. Walaupun selama tiga bulan kedepan, bunyi klaksonya masih “dit,dit,dit” hahaha?

Laptop Tebal Disulap Jadi Tipis

Karena saya ada dijurusan IT, media untuk belajarnya adalah laptop atau komputer.

Alhamdulillah, belum punya motor waktu itu tapi saya sudah punya laptop. Walaupun masih berat dibawa kemana-mana.

Ada satu teman saya. Laki-laki. Tapi mulutnya seperti perempuan. Waktu itu dia beli laptop baru. Laptopnya lebih ramping dari laptop saya.

Dia bilang, “Laptop lu tebel banget. Kaya orangnya.

Saya yang jengkel mendengarnya hanya menjawab santai, “Gapapa, yang penting kuat install CentOs7 di vbox. Daripada lu, laptop kurus, tapi harus pinjem komputer sekolah supaya bisa nyelesain tugas.

Jika dibandingkan dulu, melihat keadaan saya saat ini. Sekarang saya malah punya laptop yang lebih tipis dari punya teman saya itu. Barang yang mungkin tidak pernah saya bayangkan. Bisa kebeli atau tidak. Karena logonya yang terkenal mahal dan elit.

Kalau dulu saya hanya tahu, merk itu mahal. Mustahil untuk saya, bisa memilikinya. Nyatanya sekarang saya punya, entah bagaimana caranya atau jalannya bisa tercapai. Lewat bekerja di Excellent.

Bisa Kuliah Setelah Yang Lain Sarjana

Selepas SMK itu ada 4K yang utamanya harus dipilih :
1. Kerja
2. Kuliah
3. Kewirausahaan
4. Kawin

Semua teman sekolah saya sibuk membahas, “saya akan kuliah disini, disini dan disitu”.

Sewaktu saya PKL di Excellent, saya ditanya pak Boss. Setelah lulus ingin melanjutkan kemana?

Jawaban saya pasti dan selalu kerja sambil kuliah.

Padahal waktu itu saya tidak tahu, akan kuliah dimana dan kerja dimana.

Melihat keadaan orang tua. Pilihan saya jika kuliah pasti harus disertakan dengan kerja.

Teman-teman saya bilang, “Kalau gue ga keterima di negeri, pilihannya gue kuliah di Binus, atau di Telkom, atau di Guna Darma, atau di Yarsi atau di Trisakti.”

Di universitas swasta yang mahal lah pokoknya.

Saya yang mendengar itu, hanya bisa tersenyum. Yang saya pikirkan waktu itu, saya bisa kuliah setelah 3 tahun bekerja atau mungkin setelah teman-teman saya semua sudah jadi sarjana. Saya baru menyusulnya.

Tapi tidak, setahun bekerja saya sudah punya rejeki dan waktunya. Tidak perlu menunggu teman-teman saya sarjana, saya sudah bisa menyusulnya.

Saya tidak pernah menyesali keadaan orang tua saya. Saya juga tidak menyesali bahwa saya harus melanjutkan sekolah ke SMK bukan ke SMA. Seandainya saya waktu itu tetap memilih SMA. Mungkin apa yang saya dapatkan hari ini, tidak akan terwujud secepat ini.

Jika Diremehkan, Maka Buktikan

Lingkungan baru yang hampir dua bulan ini saya jalani (perkuliahan), menjadikan saya bertemu dengan berbagai macam jenis sifat dan karakter manusia.

Ada yang susah melihat orang lain senang, ada yang senang melihat orang lain susah.

Lho… sama saja ya? Itu biasanya sifat manusia yang namanya iri.

Maka dari itu, jadilah manusia yang memiliki sifat : Bahagia melihat orang lain senang. Senang melihat orang lain bahagia.

Positif to positif, bukan negatif to positif atau sebaliknya.

Baru-baru ini yang saya alami adalah ketika kemampuan saya diremehkan oleh orang lain. Underestimate. Memandang saya seolah-olah “memangnya kamu bisa apa?“.

Kejadian ini saya sadari saat saya ingin jilid tugas laporan perpajakan. Saya lihat banyak teman sekelas, yang juga nimbrung dan kumpul didepan tempat fotocopy, tempat saya ingin menjilid tugas laporan tersebut.

Saya tanya salah satu dari mereka. Sedang apa berkumpul disini. Dia bilang “fotocopy jawaban dari kelas pagi” (karena memang bertepatan dengan UTS).

Kemudian dia tanya lagi ke saya, “Lu ga ikut fotocopy?

Saya bilang, “Nggk, gue udah belajar, paling nanti dibaca-baca lagi slide yang udah dikasih.

Kemudian jawab dia ketus, “Belajar? Sombong banget. Emang lu bisa? Kan banyak materinya?

Dan lirikan matanya terhadap saya juga menunjukkan, “gue aja ga bisa apalagi elu“.

Kemudian saya hanya menjawab, “bisa“. Dan pergi menuju ruang kelas.

Ketika ujian sudah mulai belangsung, satu per satu mahasiswa diberi kertas soal ujian. Soalnya hanya berupa ilustrasi gambar dan penjelasan sedikit mengenai fungsi pajak. Tugas kami menyampaikan, apa hubungannya gambar tersebut dengan fungsi pajak. Dan dijelaskan menurut pendapat masing-masing.

Otomatis kertas fotocopyan yang tadi teman-teman saya copy, tidak ada manfaatnya.

Karena teman saya yang ketus tadi, posisi duduknya ada disebelah kiri saya. Akhirnya mau tidak mau, dia tanya juga ke saya. Jawaban apa yang harusnya dia berikan. Dia minta clue ke saya. Karena pada dasarnya fungsi dari pajak saja dia tidak mengerti. Bagaimana bisa menjelaskan apa hubungannya dengan gambar tersebut.

Saya kasihan, akhirnya saya jelaskan sedikit jawaban untuknya, supaya dia bisa terbantu.

Sebelum-sebelumnya pun saya pernah kurang dihargai dia. Oleh orang yang sama. Ketika saya presentasi didepan tentang sejarah lahirnya pancasila.

Karena tampilan slide presentasi saya sedikit isinya, hanya point-pointnya saja. Dan ceritanya semua ada diucapan saya. Akhirnya semua audiens (teman-teman saya) diharuskan mendengarkan saya.

Sebenarnya itu trik supaya ketika maju kedepan, tampil presentasi, semua mata bisa tertuju padaku. Hehe

Cara menarik perhatian orang lain lah intinya.

Ketika selesai presentasi, semua tepuk tangan kecuali teman saya yang rese itu.

Saya kembali ketempat duduk saya, dan bukannya memberi kesan yang baik.

Ucapannya malah seperti ini, “Fitra, lu berapa minggu cuma buat ngapalin sejarah gituan? Sampe apal banget

Dalam hati, “Sialan banget”.

Tadinya saya ingin jawab ketus juga, tapi saya ingat tulisan Pak Boss yang judulnya “Tak Usah Marah Ketika Orang Lain Underestimate Pada Kita

Lewat tulisan itu saya tahu dan banyak referensi bacaan bagus, tentang bagaimana sikap kita ketika orang lain menganggap remeh.

Justru ketika orang lain underestimate kepada kemampuan kita, itu bisa dijadikan motivasi untuk membuktikan bahwa kita sebenarnya lebih unggul dari mereka yang suka meremehkan.

Percaya Diri Pada Tempatnya

Minggu ini saya disibukan dengan kegiatan baru dikampus. UTS. Ujian Tengah Semester atau Ulangan Tengah Semester. Kakaknya Ujian Akhir Semester (UAS).

Setelah setahun, istirahat sebentar dari berbagai macam ujian. Kecuali, ujian hidup. Akhirnya saya kedapatan lagi, berhadapan dengan soal-soal yang menjadi tolak ukur, sejauh mana saya belajar dan mengerti atau paham selama sebulan belajar di kampus.

Dan ini adalah pertama kalinya saya ikutserta UTS diperkuliahan. Dari mulai datang lebih awal. Tidak seperti biasanya, dosen dulu yang masuk baru saya nyusul masuk kelas. Kemudian pakai almamater hijau toska, mirip dengan petugas rumah sakit. Dan membawa kartu ujian, seperti jaman sekolah di SD, SMP dan SMK dulu.

Karena ini pertama kalinya, ada beberapa masalah yang saya hadapi. Mungkin juga karena faktor kebiasaan.

1. Hitung Neraca Tidak Balance

Saya ada pada jurusan yang terkonsentrasi di Administrasi Perpajakan. Bicara soal perpajakan, tidak terlepas dari hitung menghitung uang orang lain, UU, atau pasal-pasal ayat sekian.

Maka dari itu, di semester awal ini saya dapat mata kuliah “Dasar-Dasar Akuntansi”.

Menghitung Jurnal Umum, kegiatan mencatat akun per transaksi. Kemudian Laba-Rugi untuk mengetahui keuntungan atau kerugian yang didapat oleh sebuah perusahaan. Neraca Saldo, Perubahan Modal, Neraca dan Rasio Ekuitas Pemilik diperlukan untuk menentukan perusahaan sehat atau tidak.

Tujuan lainnya sebagai dasar menghitung berapa pajak yang akan dibayarkan si perusahaan tersebut nantinya.

Mata kuliah ini terbilang sangat menegangkan, selain dosennya yang pelit nilai dan tegas, ini juga jadi makanan baru untuk saya yang dulu gagal jadi anak akuntansi. Akhirnya masuk dijurusan TKJ, maka outputnya atau keluarannya seperti sekarang ini. Akuntansi nggak, TKJ juga nggak.

Senin kemarin adalah pertama kalinya saya UTS mata kuliah akuntansi. Ada hal terbodoh yang saya ulangi lagi dalam ujian ini. Yaitu “tidak percaya diri akan kemampuan diri sendiri”.

Ketidakpercayaan dalam mengisi soal ujian, akan menimbulkan keinginan untuk menyontek kepada teman.

Sejak SMK dulu, saat ulangan Matematika. Guru saya selalu menempatkan saya dikursi paling depan. Dia tahu saya bisa. Tapi saya cari aman. Duduk di kursi tengah. Tapi selalu dipindah ke kursi depan.

Tapi entah kenapa, nilai ujian saya lebih bagus kalau saya duduk didepan ketimbang duduk dibelakang atau di tengah.

Nah, waktu kejadian kemarin. Karena nama saya diawali dengan huruf “F”, maka asumsi saya, saya duduk dikursi tengah. Ternyata kata dosen saya, duduk dimana saja tidak urut tidak apa-apa, yang penting kursi depan diisi.

Saya sudah aman dikursi tengah.

Belakang saya jadi kosong. Karena semuanya pindah ke depan. Saat ujian dimulai, teman saya yang lain baru masuk dan mengisi kursi belakang.

Saya sudah mulai mengerjakan soal. Sudah dinomor 3. Karena 1-3, soal teori. Masuk ke soal ke 4. Soal terakhir. Dalam bentuk soal cerita. Pertanyaannya beranak a,b,c,d, dan e. Karena waktunya terbatas, dikorting jadi a,c,d dan e saja yang dikerjakan.

Dengan percaya diri saya isi sesuai pemahaman saya. Teman sebelah saya baik depan, kanan atau belakang saya sudah mulai berisik dengan bunyi klik tombol kalkulatornya.

Sedangkan saya sendiri, masih asik memisahkan akun mana yang cocok untuk tiap-tiap transaksi dalam soal cerita tersebut.

Samping kanan saya laki-laki tapi cerewet. Dia bilang ke saya “belakang lu baru dateng, udah sampe laba rugi”.

Saya panik, kecepatan mengisi soal meningkat.

Saya menyusul, sudah sampai hitung laba rugi. Dengan hasil yang berbeda dari teman sebelah kanan dan belakang saya.

Itulah uniknya pelajaran akuntansi, soal dan nominalnya sama tapi jawaban satu sama lain, hasilnya berbeda. Tidak tahu, jawaban yang mana yang paling benar diantara saya dan kedua teman saya itu.

Kemudian masuk di laporan Neraca. Rumusnya :

Aset = Kewajiban + Ekuitas Pemilik

Salah satu akun yang termasuk Aset, adalah Kas. Saat menghitung Kas, saya kedapatan hasil, minus Rp650.000. Sedangkan kedua teman saya itu tidak ada hasil minus.

Ternyata pada akun Jurnal Umum, asuransi dibayar dimuka yang harusnya memang berada di debit, mereka ubah posisinya ada di kredit. Sehingga, bisa mengkatrol nilai Kas menjadi tidak minus. Sedangkan saya kebalikan dari mereka. Makanya hasilnya minus.

Karena saya terkecoh dan tidak percaya diri, jadilah saya ikut-ikut mereka. Akun tersebut saya balik. Supaya tidak minus. Tapi dengan hasil yang ujungnya tidak balance.

Sedangkan hasil pertama saya tadi, balance. Syarat menghitung Neraca adalah Aset dan Kewajiban harus balance.

Sialnya kertas jawaban saya sudah langsung diambil dosen. Belum sempat mengganti lagi kejawaban saya sendiri. Dosen, sudah umumkan jawaban akhirnya. Dan jawaban awal saya yang benar.

Teman saya yang lain, yang ada dikursi depan. Mereka semua balance. Mungkin karena tuntutan duduk didepan tidak bisa tengok kanan kiri. Atau mungkin memang benar-benar yakin dan bisa atas usahanya sendiri.

Intinya, yang duduk dibagian tengah dan belakang. Mereka hanya bisa bilang “Yahhhh…..”, termasuk saya.

Padahal sebelum ujian, ibu saya berpesan “Jawab sesuai kemampuanmu, kalau kamu sudah belajar dan yakin, jawaban yang paling benar ya hasil dari pemikiran kamu sendiri. Jangan ikuti jawaban orang lain. Yang selesai duluan mengisi jawaban pun, belum tentu benar. Yang selesai paling belakangan pun belum tentu pintar. Yakin sama diri sendiri.

Saya jadi berandai-andai. Seandainya, seandainya dan seandainya. Ya itu lah, penyesalan selalu datang diakhir kejadian.

2. Kartu Ujian di Laminating

Kampus saya memang tidak mau ribet. Kartu ujian diprint sendiri oleh mahasiswa. Siapa saja yang sudah bayar kuliah, tidak ada tunggakan. Pasti bisa download kartu ujiannya sendiri. Terserah mau di print atau diapakan. Yang jelas disitu sudah ada barcodenya. Tugas akademik hanya men-scan barcode tersebut.

Saya print, kemudian saya laminating. Tidak saya perhatikan begitu detail, item apa saja yang ada dalam kartu ujian tersebut. Yang saya tahu, disitu hanya tertera; ruang kelas, nama mata kuliah, dan kode dosen. Saya tidak begitu memperhatikan yang lainnya.

Dengan terlalu percaya diri. Saya merasa bahwa kartu sayalah yang nantinya tidak akan lecek, sobek atau luntur terkena air. Karena sudah dilaminating dengan rapih.

Ternyata, saat ujian berlangsung. Dosen yang mengawas keliling, dan tanda tangan di kartu ujian masing-masing mahasiswa. Yang lain santai, karena mereka kertas biasa.

Giliran saya. Dosennya bingung, katanya “Kenapa kamu laminating? Saya kan jadi susah tanda tangannya“.

Saya tidak tahu bahwa disamping kolom mata kuliah, ada kolom untuk tanda tangan dosen yang mengawas. Niat saya supaya rapih, malah menyusahkan.

Ternyata terlalu yakin dan percaya diri itu juga berbahaya.

3. Nyontek Tapi Komplain

Kebiasaan pelajar Indonesia. Sudah malas berpikir, menyontek pun sambil komplain. Kalau banyak komplain, usahalah jawab sendiri. Toh, dengan komplain ke si yang kasih contek itu pun sebenarnya kalian sudah menemukan jawaban sendiri.

Hari Selasa kemarin, waktu ujian mata kuliah Pengantar Administrasi Publik. Di soal nomor 5 itu ada pertanyaan “Jelaskan pengertian seni dalam ilmu administrasi!

Karena Administrasi Publik termasuk kedalam ilmu dan seni. Saya jawab sesuai dengan pertanyaan.

Disitu sudah jelas-jelas tertera “pengertian seni dalam ilmu….” bukan “pengertian seni dan ilmu….“.

Teman belakang saya, sudah nyontek dia komplain. Katanya seperti ini, “Itu kan jawabannya dua, seni dan ilmu. Kenapa lu cuma seni doang. Ilmunya mana?”

Saya jelaskan berkali-kali untuk bedakan kata “dan” & “dalam“. Dia tetap ngeyel. Akhirnya saya bilang, “Udahlah kalo ngeyel, tulis jawaban lu sendiri, jangan nyontek“.

Dia balas dan dia bilang, “Yaudah, pokoknya gue udah ngasih tau. Jawaban lu pasti salah“.

Dengan percaya diri, dia maju kedepan mengumpulkan kertas jawabannya. Selesai lebih dulu daripada saya. Yang nomor 5 jawaban dia pasti salah. Dan saya belum tentu benar. Hehehe?